Kehidupan Imam Mûsâ bin Ja‘far as. dipenuhi dengan pancaran cahaya, kemuliaan, dan perilaku cemerlang yang merefleksikan sepiritual, perjuangan, pengabdian, dan konsistensi Rasulullah saw. terhadap Islam. Berikut ini, kami paparkan sebagian dari sisi-sisi kehidupan imam yang satu ini. Keluasan Ilmu Para perawi hadis dan penulis biografi sepakat bahwa Imam Mûsâ as. adalah orang yang paling alim pada zamannya. Ia memiliki keluasan ilmu dan makrifat yang luar biasa. Banyak ulama dan perawi hadis yang meneguk ilmu pengetahuan darinya. Mereka berbondong-bondong menulis fatwa, mutiara hikmah, dan adab yang ia sampaikan. Imam Mûsâ as. di kalangan para imam Ahlul Bait as. adalah imam pertama yang mencetuskan bab halal dan haram dalam syariat Islam.[1] Pada masa itu, banyak ulama besar dan fuqaha yang menamatkan pelajaran dari madrasah Imam Mûsâ as. Kami telah menulis biografi para sahabat dan perawinya sebanyak 331 orang dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja‘far as. Sebagian dari mereka memiliki peran penting dalam dunia ilmu pengetahuan pada masa itu. Dan sebagian yang lain terjun dalam dunia diskusi dan dialog dengan para ulama yang mengingkari imâmah, dan dengan ulama-ulama lain dari golongan dan mazhab yang berbeda-beda. Di antara sahabat Imam Mûsâ yang menonjol dalam dunia diskusi dan dialog adalah Hisyâm bin Hakam. Dia banyak melakukan diskusi dan dialog yang mengagumkan dengan para pengikut aliran Barâmikah. Dalam sebuah dialog di pendopo kerajaan Bani Abbâsiyah, Hisyâm berhasil membuktikan keyakinan Syi‘ah tentang konsep imâmah dengan argumentasi dan dalil yang kuat. Kami telah memaparkan kisah ini dalam biografi Hisyâm bin Hakam yang terdapat dalam buku kami, Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja‘far as., jilid 2. Dialog Imam Mûsâ as. Imam Mûsâ as. sering melakukan dialog yang mengagumkan dan tangguh dengan para musuhnya dan sebagian ulama Yahudi dan Nasrani. Hal itu menunjukkan sejauh mana keluasan dan kekuatan ilmu pengetahuannya. Setiap orang yang pernah berdebat dengannya mengakui kelemahan dan kekalahan dirinya. Mereka bertekuk lutut di hadapan hujah-hujahnya dan mengakui keunggulan ilmunya atas ilmu mereka. Berikut ini kami bawakan sebagian dialog Imam Mûsâ as. tersebut. 1. Dialog Imam Mûsâ as. dengan Nafî‘ Al-Anshârî Nafî‘ Al-Anshârî adalah salah seorang yang membenci Imam Mûsâ as. Dia sangat marah ketika melihat Imam Mûsâ as. begitu dihormati di pendopo kerajaan Bani Abbâsiyah. Dalam suatu pertemuan, ketika hendak masuk menemui Hârûn, Imam Mûsâ as. disambut oleh penjaga pintu dengan penuh penghormatan. Nafî‘ bergegas berjalan. Pada waktu itu, ia disertai oleh Abdul Aziz. Nafî‘ bertanya kepadanya: “Siapakah orang ini?” Abdul Aziz menjawab: “Dia adalah pemuka keluarga Abu Thalib, Mûsâ bin Ja‘far as.” Mendengar jawaban itu, Nafî‘ berkata: “Aku tidak pernah melihat suatu kaum yang lebih lemah dari kaum ini (Banni Abbâsiyah). Mereka menghormati seseorang yang bisa menggulingkan mereka dari takhta kerajaan. Jika dia keluar, aku akan mengganggunya.” Abdul Aziz melarang Nafî‘ untuk mengganggu Imam Mûsâ as. seraya berkata: “Jangan kau lakukan itu. Sesungguhnya mereka adalah Ahlul Bait. Tidak ada seorang pun yang mengganggunya dengan ucapan, kecuali orang itu pasti dipecundangi dengan suatu jawaban yang akan tetap menjadi tanda kehinaannya untuk selama-lamannya.” Ketika Imam Mûsâ as. keluar dari ruang pertemuan Hârûn, Nafî‘ menghampirinya dan memegang kendali kudanya. Nafî‘ berkata: “Siapakah engkau?” Imam Mûsâ manjawab: “Hai Fulan, jika kamu menginginkan nasabku, aku adalah putra Muhammad Habîbullâh, putra Ismail Dzabîhullâh, dan putra Ibrahim Khalîlullâh. Jika kamu menginginkan kota, maka aku berasal dari kota yang Allah swt. mewajibkan kaum muslimin dan kamu—bila kamu termasuk dari kalangan mereka—untuk melakukan ibadah haji kepadanya. Jika kamu menginginkan kebanggaan, demi Allah orang-orang musyrik kaumku tidak senang muslimin kaummu sebagai padanan mereka, sehingga mereka berkata, ‘Hai Muhammad, keluarkanlah orang-orang yang sepadan dengan kami dari kalangan kaum Quraisy saja.’ Hai fulan, lepaskanlah kendali kudaku!” Nafî‘ pun mengaku kalah dan tampak marah sekali karena ia telah dipecundangi oleh Imam Mûsâ as.[2] 2. Dialog Imam Mûsâ as. dengan Abu Yusuf Suatu hari Hârûn memerintahkan Abu Yusuf untuk bertanya kepada Imam Mûsâ as. tentang masalah fiqh. Hârûn berharapan Imam Mûsâ as. tidak mampu untuk menjawab sehingga kelemahan ini bisa dimanfaatkan untuk menghina dan memojokan Imam Mûsâ as. Hârûn pun mempertemukan Imam Mûsâ dengan Abu Yusuf. Abu Yusuf mulai bertanya kepada Imam Mûsâ as.: “Apa pendapatmu tentang bernaung bagi orang yang sedang melakukan ihram?” “Tidak boleh”, jawab Imam Mûsâ pendek . Abu Yusuf bertanya lagi: “Bagaimana jika membangun kemah dan masuk ke dalam rumah?” “Tidak masalah”, jawab Imam Mûsâ. Abu Yusuf menimpali: “Apa perbedaan antara keduanya?” “Apakah wanita yang sedang haid wajib mengqadha salat?”, Imam Mûsâ balik bertanya. “Tidak”, jawab Abu Yusuf. Imam Mûsâ as. bertanya: “Apakah ia wajib mengqadha puasanya?” “Ya”, jawab Abu Yusuf. “Mengapa?”, tanya Imam Mûsâ lagi. “Seperti itulah ketentuannya”, jawab Abu Yusuf pendek. Imam Mûsâ as. menimpali: “Begitu juga ketentuannya dalam masalah ini.” Abu Yusuf terdiam seribu bahasa. Ia tampak tidak berdaya di hadapan Imam Mûsâ as. Hârûn bertanya kepadanya: “Mengapa kamu tidak menjawab?” Abu Yusuf berkata: “Dia telah membungkam mulutku dengan batu yang tajam.”[3] Imam Mûsâ as. keluar dari pertemuan itu, sedangkan Hârûn Ar-Rasyîd kelihatan marah karena telah gagal menjatuhkan Imam Mûsâ as. 3. Bersama Hârûn Ar-Rasyîd Hârûn menahan Imam Mûsâ as. dan memasukkannya ke dalam penjara selama beberapa tahun. Suatu hari, ia memeritahkan supaya Imam Mûsâ as. menghadap. Ketika Imam Mûsâ as. sudah menghadap, Hârûn berkata dengan suara keras karena marah: “Hai Mûsâ bin Ja‘far, ada dua khalifah yang uang pajak diberikan kepada mereka.” Imam as. berpaling kepadanya dengan bersahabat dan lemah lembut seraya berkata: “Hai Amirul Mukminin, aku memperlindungkan kamu kepada Allah swt. dari menanggung dosaku dan dosamu dan dari menerima kebatilan dari musuh-musuh kami atas kami. Sesungguhnya kamu telah mengetahui bahwa kami didustakan dari semenjak kematian Rasulullah saw. dengan sesuatu yang beliau ketahui ada di sisimu. Jika kamu meyakini tali kekerabatan antara kamu dengan Rasulullah saw., izinkan aku untuk menyampaikan satu hadis yang telah disampaikan oleh ayahku dari ayah-ayahnya dan berasal dari kakekku, Rasulullah saw.” Hârûn berkata: “Aku telah izinkan.” Imam Mûsâ as. berkata: “Ayahku memberitahukan kepadaku suatu hadis yang ia riwayatkan dari dari ayah-ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah saw. bahwa Rasulullah saw. bersabda, ‘Sesungguhnya jika rahim menyentuh rahim, maka ia akan bergerak dan bergoncang. Maka ulurkanlah tanganmu kepadaku.’” Hârûn pasrah dan menjulurkan tangannya kepada Imam Mûsâ as. Lalu Hârûn menarik Imam Mûsâ ke arah dirinya dan memeluknya erat-erat sedang matanya berlinang air mata. Hârûn berkata kepada Imam Mûsâ as.: “Engkau benar dan benar juga kakekmu. Sesungguhnya darahku terasa bergerak dan nadiku bergetar sehingga aku pun pasrah dan air mataku bercucuran. Ada masalah yang hendak kutanyakan kepadamu. Masalah ini selalu bergejolak dalam hatiku dari dulu dan aku belum pernah menanyakannya kepada siapa pun. Jika kamu menjawab pertanyaanku ini, maka aku akan membebaskanmu dan aku tidak akan mempercayai ucapan siapa pun tentang dirimu. Sungguh aku mendengar bahwa kamu tidak pernah berbohong dan aku mempercayai hal itu. Maka jawablah pertanyaan yang ada dalam hatiku ini dengan sejujurnya.” Imam Mûsâ as. berkata: “Ilmu tentang hal itu tidak ada di sisiku. Tapi aku akan memberitahukan kepadamu tentang hal itu bila kamu menjamin keselamatanku.” Hârûn menjawab: “Kamu aman, jika kamu menjawab pertanyaanku dengan jujur dan meninggalkan taqiyah yang kamu yakini itu, hai keturunan Fathimah.” Imam Mûsâ as. berkata: “Tanyakanlah apa yang ingin kau inginkan.” Hârûn berkata: “Mengapa kalian diutamakan atas kami, padahal kalian dan kami berasal dari satu pohon? Bani Abdul Muthalib, ayah kami, dan ayah kalian adalah satu. Bani Abbâs dan kalian adalah keturunan Abu Thalib. Mereka berdua (Abu Thalib dan Abbâs) adalah paman Rasulullah saw. dan hubungan kekerabatan mereka berdua adalah sama?” Imam Mûsâ as. menjawab: “Kami lebih dekat (kepada Rasulullah saw.).” “Bagaimana bisa?”, tukas Hârûn. Imam Mûsâ as. menjawab: “Karena Abdullah dan Abu Thalib adalah saudara sekandung, sedangkan ayah kalian, Abbâs, tidak dilahirkan dari ibu Abdullah dan Abu Thalib.” Hârûn lebih lanjut bertanya: “Mengapa kalian mengaku dapat mewarisi Rasulullah, sedangkan seorang paman dapat menghalangi anak seorang paman yang lain (dari warisan)? Rasulullah saw. wafat dan Abu Thalib telah meninggal sebelum itu, sedangkan Abbâs, paman Rasulullah, masih hidup kala itu.” Imam Mûsâ as. menjawab: “Saya mohon Amirul Mukminin memaafkanku dari pertanyaan ini, dan silakan bertanya tentang masalah-masalah yang lain.” “Tidak! Kamu harus menjawabnya”, jawab Hârûn bersikeras. Imam Mûsâ as. menimpali: “JAmînlah keamanan bagiku!” Hârûn menjawab: “Sudah aku jAmîn sebelum kita memulai dialog.” Imam Mûsâ as. menjawab: “Menurut pendapat Ali, jika anak kandung masih ada, baik laki-laki maupun perempuan, maka pewaris yang lain tidak berhak memperoleh harta warisan, kecuali kedua orang tua, suami, dan istri. Paman tidak berhak memperoleh harta warisan selama anak kandung masih hidup. Hanya saja, menurut pendapat Bani Taim, Bani ‘Adî, dan Bani Umayyah, paman adalah seperti ayah. Pendapat mereka itu masing-masing tidak memiliki realita dan bukti dari Nabi saw.” Kemudian Imam Mûsâ as. menyebutkan pendapat para fuqaha pada zaman itu yang memiliki fatwa sama dengan fatwa kakeknya, Amirul Mukminin as., dalam masalah ini. Ia menambahkan: “Para fuqaha terdahulu Ahlusunah telah meriwayatkan dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda, ‘Ali adalah paling alim di antara kalian (aqdhâkum).’ Umar bin Khaththab juga berkata, ‘Ali adalah orang yang paling alim di antara kita (aqdhânâ).’ Dan kosa kata qadhâ’ adalah kata benda yang meliputi segala sesuatu. Karena semua yang dipuji pada diri Nabi saw., seperti keahlian membaca, pengetahuan tentang kewajiban, dan ilmu pengetahuan termasuk dalam kategori qadhâ’.” Hârûn meminta supaya Imam Mûsâ as. menjelaskan masalah itu lebih rinci lagi. Imam Mûsâ as. berkata: “Sesungguhnya Nabi saw. tidak mewariskan kepada orang yang tidak berhijrah dan tidak pula menetapkan wilâyah untuknya sehingga dia berhijrah.” “Apa dalilmu”, tanya Hârûn pendek. Imam Mûsâ as. berkata: “Firman Allah swt., ‘Dan orang-orang yang beriman akan tetapi tidak berhijrah, maka tidak ada sedikit pun wilâyah bagi kalian atas mereka sehingga mereka berhijrah.’[4] Sesungguhnya pamanku, Abbâs, tidak berhijrah.” Hârûn pun marah seraya berkata kepada Imam Mûsâ as.: “Apakah engkau telah berfatwa kepada salah seorang dari musuh kami, ataukah engkau telah memberi tahu tentang hal ini kepada salah seorang di antara para fuqaha?” Imam Mûsâ as. menjawab: “Tidak. Belum ada seorang pun yang bertanya tentang hal ini selain engkau.” Kemarahan Hârûn pun reda. Ia melanjutkan pertanyaannya: “Mengapa engkau izinkan orang-orang khusus dan umum untuk menisbahkan kalian kepada Rasulullah saw. dan memanggil kalian, ‘Wahai putra Rasulullah.’ Padahal kalian adalah keturunan Ali. Nasab keturunan seseorang hanya menyambung kepada ayahnya, sementara Fathimah hanyalah sebagai wadah, dan Rasulullah adalah kakekmu dari pihak ibu kalian?” Imam Mûsâ as. menjawab pertanyaan Hârûn ini dengan hujah yang tegas. Ia berkata: “Jika seandainya Nabi saw. dihidupkan kembali dan melamar anak perempuanmu, apakah kamu akan menerima lamaran beliau?” Hârûn menjawab: “Maha suci Allah! Mengapa aku tidak menerimanya? Bahkan aku akan berbangga diri dengan lamaran itu terhadap bangsa Arab, ‘Ajam, dan suku Quraisy.” Imam Mûsâ menjawab as.: “Akan tetapi, beliau tidak akan melamar anakku dan aku juga tidak akan menikahkan anakku dengannya.” “Mengapa tidak?”, tanya Hârûn pendek. Imam Mûsâ as. menjawab: “Karena beliau telah melahirkanku dan tidak melahirkanmu.” Hârûn: “Bagus, hai Mûsâ. Tetapi bagaimana kalian mendakwa bahwa kalian adalah keturunan Nabi saw., padahal beliau tidak memiliki keturunan? Sesungguhnya nasab keturunan itu diukur melalui jalur pihak laki-laki, bukan melalui jalur pihak perempuan. Dan kalian adalah keturunan putrinya.” Imam Mûsâ as. menjawab: “Aku mohon kepadamu—berkat hubungan kekerabatan kita—agar kamu memaafkanku (dari pertanyaan ini).” Hârûn menjawab: “Tidak, atau kamu mengajukan hujahmu tentang masalah ini, hai putra Ali as. Dan engkau, hai Mûsâ, adalah pemimpin dan imam zaman mereka. Aku tidak akan memaafkanmu.” Imam Mûsâ as. balik bertanya: “Apakah kamu mengizinkan aku menjawab?” “Silakan”, jawab Hârûn pendek. Imam Mûsâ as. menjawab: “Allah swt. berfirman, ‘... dan dari keturunannya adalah Dâwûd, Sulaimân, Ayyûb, Yûsuf, Mûsâ, dan Hârûn. Begitulah kami membalas orang-orang yang berbuat kebaikan. Dan (begitu juga) Zakariâ, Yahyâ, Isa, dan Ilyâs. Semuanya termasuk orang-orang yang saleh.’[5] Hai Amirul Mukminin, siapakah ayah Isa?” Hârûn menjawab: “Isa tidak memiliki ayah.” Imam Mûsâ as. menjawab: “Allah memasukkannya ke dalam keturunan para nabi melalui jalur Maryam. Begitu juga Allah swt. memasukkan kami kepada keturunan Rasulullah saw. melalui ibu kami, Fathimah as.” Hârûn meminta hujah yang lebih rinci tentang masalah itu. Maka Imam Mûsâ as. menambahkan: “Allah swt. berfirman, ‘Barang siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya), ‘Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anakmu, istri-istri kami dan istri-istrimu, diri kami dan dirimu; kemudian marilah kita ber-mubâhalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.’[6] Tak seorang pun yang berpendapat bahwa Nabi saw. memasukkan seseorang ke dalam Kisâ’ ketika beliau ber-mubâhalah dengan kaum Nasrani, kecuali Ali bin Abi Thalib, Fathimah, Hasan, dan Husain.” Hujah Hârûn pun musnah dan Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. telah menutup seluruh celah yang dapat digunakan oleh Hârûn untuk melarikan diri.[7] Dengan dialog itu, kami tutup seri dialog Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. Kami telah mengumpulkan dialog-dialog Imam Mûsâ as. dalam buku kami, Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja‘far as., jilid 1. Karakter dan Jati Diri Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. Sesungguhnya karakter yang agung dan perilaku yang mulia adalah jati diri, ciri khas, dan bagian yang tak terpisahkan dari diri Imam Mûsâ as. Kami akan memaparkan sebagian karakter dan jati dirinya berikut ini: 1. Kehebatan Ilmu Semua perawi hadis sepakat bahwa Imam Al-Kâzhim as. merupakan orang yang paling ‘alim pada zamannya. Ilmunya tergolong kategori ilham seperti halnya ilmu para nabi dan washî. Para teolog Syi‘ah telah membuktikan hal ini dengan beberapa dalil dan argumentasi. Ayahnya, Imam Ash-Shâdiq as. telah bersaksi akan kemampuan ilmu yang dimiliki oleh putranya itu. Imam Ash-Shâdiq as. pernah berkata kepada Isa: “Jika engkau bertanya kepada anakku ini tentang apa yang ada dalam mushaf ini, maka ia akan mampu menjawabnya.” Imam Ash-Shâdiq as. juga berkata: “Dia (Imam Mûsâ as.) memiliki hikmah, pemahaman, kedermawanan, dan makrifah atas segala sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia tentang masalah agama yang mereka perselisihkan.”[8] Syaikh Mufid berkata: “Orang-orang telah meriwayatkan banyak sekali riwayat dari Abul Hasan Mûsâ as. Dan ia adalah orang yang paling faqih pada zamannya.”[9] Para ulama telah meriwayatkan dari Imam Mûsâ as. aneka ragam ilmu pengetahuan tekstual dan rasional sehingga ia terkenal di kalangan para perawi sebagai orang yang alim. 2. Zuhud Terhadap Dunia Imam Mûsâ as. telah berpaling dengan sepenuh hati dari kegemerlapan dan perhiasan kehidupan. Ia hanya menfokuskan diri kepada Allah swt. dan senantiasa melakukan segala sesuatu yang bisa mendekatkan diri kepada-Nya. Ibrahim bin Abdul Hamid pernah bercerita tentang kezuhudan Imam Mûsâ as. Ia berkata: “Suatu hari aku masuk ke rumah Imam Mûsâ as. Pada waktu itu, ia sedang mengerjakan salat, dan tidak ada sesuatu apapun di dalam rumahnya kecuali sehelai kain kasar, pedang yang tergantung, dan mushaf.”[10] Sungguh kehidupan Imam Mûsâ as. sangat zuhud. Rumahnya sangat sederhana, padahal ia menerima harta yang banyak dan hak-hak syar‘î dari masyarakat Syi‘ah. Ia menginfakkan semua harta itu untuk fakir miskin, orang-orang yang membutuhkan, dan untuk kepentingan di jalan dan keridaan Allah swt. Imam Mûsâ as. merasa kagum dengan kezuhudan sahabat Nabi, Abu Dzar. Ia pernah bercerita kepada para sahabatnya mengenai kehidupan Abu Dzar seraya berkata: “Semoga Allah memberikan rahmat kepada Abu Dzar. Ia pernah berkata, ‘Allah telah mencukupkan dunia bagiku sebagai sebuah kehinaan dengan dua adonan gandum; aku makan siang dengan satu adonan dan makan malam dengan adonan yang lain, dan dengan dua helai pakaian bulu yang kasar; satu helai kukenakan dan satu helai yang lain kugunakan sebagai penutup tubuhku.”[11] Begitulah keturunan Nabi saw. yang satu ini hidup zuhud di dunia, berpaling dari keindahan, dan kegemerlapannya. Ia telah berhasil memaksa dirinya hidup renta hanya demi mengharap pahala Allah swt. 3. Kedermawanan Salah satu karakter Imam Mûsâ as. yang luhur adalah ia telah menjadi buah bibir masyarakat luas dalam kedermawanan. Kaum fakir dan miskin berbondang-bondang mendatanginya untuk mendapatkan kebaikan dan kemurahannya. Keluarga Imam Mûsâ berkata: “Sangat aneh sekali curahan pemberian yang telah diberikan oleh Mûsâ, sementara ia dalam kekuarangan dan kefakiran.”[12] Imam as. sering keluar di malam yang gelap gulita untuk memberikan santunan kepada orang-orang fakir dan miskin. Santunan yang ia selalu berikan mencapai dua ratus sampai empat ratus dinar.[13] Orang-orang fakir di Madinah menikmati kebaikan, pemberian, dan santunannya. Pada jilid 1 buku Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja‘far as., kami telah sebutkan segolongan orang fakir yang telah banyak dibantu oleh Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. 4. Memenuhi Kebutuhan Orang Lain Salah satu karakter Imam Kâzhim as. yang lain adalah keinginan untuk memenuhi kebetuhan orang lain. Ia tidak menunda-nunda untuk membantu orang yang membutuhkan. Ia dikenal dengan sifat mulia ini. Kaum lemah selalu mendatanginya demi meminta pertolongan darinya, dan Imam Al-Kâzhim as. senantiasa memenuhi kebutuhan mereka. Di antara mereka adalah seorang penduduk kota Rei. Ia memiliki utang yang menumpuk kepada negara. Ia menanyakan tentang penguasa daerah itu. Ia diberitahu bahwa penguasa itu adalah seorang Syi‘ah Ahlul Bait as. Maka penghuni Rei itu berangkat ke Madinah untuk memohon petunjuk kepada Imam Mûsâ as. Imam Mûsâ as. mengutusnya kembali untuk menjumpai penguasa daerah tersebut dengan membawa sepucuk surat. Isi surat itu adalah berikut ini: Camkanlah bahwa di bawah ‘Arsy Allah swt. terdapat sebuah naungan yang tidak akan didiami kecuali oleh orang yang berbuat baik kepada saudara seimannya, meringankan kesusahanya, atau memasukkan kebahagiaan ke dalam hatinya. Dan orang ini adalah saudaramu. Wassalaam. Penghuni Rei itu mengambil surat tersebut dan berangkat menjumpai penguasa daerah itu dengan membawa surat dari Imam Al-Kâzhim as. itu. Ketika sampai di istana, ia mengetuk pintu. Budah penguasa daerah itu keluar seraya bertanya: “Siapa kamu?” Penghuni Rei itu menjawab: “Aku adalah utusan Ash-Shâbir (orang yang sabar), Mûsâ.” Dengan serta-merta budak itu masuk ke dalam istana untuk memberitahukan hal itu kepada tuannya. Sang tuan keluar dengan telanjang kaki dan segeral menanyakan keadaan Imam Al-Kâzhim as. Ia menyambut penghuni Rei itu dengan hangat dan penuh penghormatan. Penghuni Rei menyerahkan surat dari Imam Al-Kâzhim as. kepadanya. Penguasa daerah itu langsung menciumnya. Setelah membaca surat itu, ia menyuruh budaknya untuk membawakan semua harta (yang telah disita negara) dan memberikannya kepada penghuni Rei itu. Untuk harta yang tidak bisa diserahkan, penguasa daerah itu menyerahkan harganya. Dengan lembut lembut, ia bertanya: “Hai saudaraku, apakah aku telah membuatmu bahagia dengan ini?” Penghuni Rei itu menjawab: “Ya, demi Allah. Bahkan lebih dari itu.” Kemudian penguasa daerah itu meminta buku yang berisi catatan seluruh utang penghuni Rei itu. Ia memerintahkan supaya semua utang itu dihapus dan penghuni Rei itu dinyatakan bebas. Penghuni Rei itu keluar dari istana dengan penuh gembira dan kembali ke kotanya. Tak lama kemudian, ia pergi ke Madinah dan memberitahukan seluruh kebaikan penguasa daerah itu kepada Imam Al-Kâzhim as. Imam Al-Kâzhim as. pun sangat bahagia. Penghuni Rei itu bertanya kepada Imam Al-Kâzhim as.: “Wahai tuanku, apakah Anda senang mendengar ini?” Imam Al-Kâzhim as. menjawab: “Ya, demi Allah. Sungguh ia telah membuat aku dan Amirul Mukminin bahagia. Demi Allah, ia telah membuat Rasulullah saw. bahagia. Sungguh ia juga telah membuat Allah swt. bahagia.”[14] Imam Al-Kâzhim as. terkenal dengan karakter ini. Fatwanya yang menyatakan bahwa kafarah seorang penguasa adalah berbuat baik kepada saudara-saudaranya telah tersebar luas di antara kaum Syi‘ah. 5. Ibadah dan Ketaatan kepada Allah swt. Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. adalah orang yang paling ‘abid pada zamannya sehingga ia diberi gelar Al-‘Abd Ash-shâlih (hamba yang saleh) dan Zain Al-Mujtahidîn (hiasan para ‘abid). Umat manusia tedak pernah terlihat orang seperti Imam Al-Kâzhim as. dalam ibadah kepada Allah swt. Menurut riwayat para perawi hadis, ketika Imam Al-Kâzhim as. berdiri di hadapan Allah swt. untuk mengerjakan salat, matanya basah dengan air mata dan hatinya berdebar serta menggigil karena takut kepada Allah swt. Di antara manifestasi dan bukti-bukti penghambaan Imam Al-Kâzhim as. adalah ia pernah masuk ke dalam masjid Nabi saw. di permulaan awal malam. Ia lantas bersujud sekali sembari merintih seraya berkata: “Sungguh dosaku sangatlah banyak. Maka baguskanlah pengampunan dari sisi-Mu, wahai ahli ketakwaan dan ahli pengampunan.” Imam Al-Kâzhim as. selalu mengulang-ulangi ucapan ini dengan khusyuk dan bersimpuh di haribaan Allah swt. hingga pagi tiba.[15] Imam Al-Kâzhim as. selalu mengerjakan salat sunah malam dan menyambungnya dengan salat Shubuh. Kemudian ia membaca ta‘qîb (wirid) salat hingga matahari terbit. Lalu ia bersimpuh bersujud di haribaab Allah swt. dan tidak mengangkat kepalanya dari doa hingga mendekati matahari tergelincir. Asy-Syaibânî meriwayatkan: “Setiap hari, Abul Hasan Mûsâ as. selalu melakukan sujud dari terbit matahari hingga menjelang matahari tergelincir selama sepuluh tahun. Ketika Hârûn memasukannya ke dalam penjara yang dikepalai oleh Ar-Rabî‘, Hârûn memperhatikan gerak-gerik Imam Al-Kâzhim as. dari atas istananya. Harun tidak melihat seorang pun dalam penjara yang tampak. Yang tampak hanyalah setumpuk baju yang tergeletak dan tidak bergerak sedikit pun. Hârûn bertanya kepada Ar-Rabî‘, ‘Baju apa yang sering aku lihat di tempat itu?’ Ar-Rabî‘ pun segera menjawab: ‘Ya Amirul Mukminin, itu bukanlah baju. Itu adalah Mûsâ bin Ja‘far yang selalu melakukan sujud setiap hari dari terbit matahari hingga menjelang matahari tergelincir.’ Hârûn pun berkata dengan nada keheranan, ‘Sungguh dia adalah rahib Bani Hasyim.’ Ar-Rabî‘ berpaling kepada Hârûn seraya berkata, ‘Ya Amirul Mukminin, mengapa Anda mengurungnya dalam penjara?’ Hârûn menjawab, ‘Celaka kamu! Sesungguhnya ini harus aku lakukan.’ Saudara perempuan As-Sindî bin Syâhik pernah memasuki penjara ketika Imam Al-Kâzhim as. berada di dalam tahanan saudaranya. Ia berkata, ‘Jika dia (Imam Al-Kâzhim as.) mengerjakan salat Isya’, ia bertahmid, memuji, dan berdoa kepada Allah swt. hingga pertengahan malam sirna. Kemudian ia berdiri dan mengerjakan salat hingga waktu salat Shubuh tiba, dan ia pun mengerjakan salat Shubuh. Setelah itu ia berzikir kepada Allah swt. hingga matahari terbit. Kemudian ia duduk dan lalu bersujud hingga menjelang matahari tergelincir. Setelah itu, ia berwudu dan mengerjakan salat hingga mengerjakan salat Ashar. Lalu ia berzikir hingga salat Maghrib. Setelah itu, ia mengerjakan salat sunah antara salat Maghrib dan Isya’. Begitulah kebiasaanya hingga ia wafat.’”[16] Karena banyaknya bersujud, seluruh anggota sujud Imam Al-Kâzhim as. mengeras seperti kulit lutut unta. Ia memiliki seorang budak yang selalu memotong kulit keras bekas sujud di dahi dan ujung hidungnya. Tentang hal ini seorang penyair berkata: Kulitnya mengeras karena sujud panjang, yang telah melukai dahi kepalanya. Dia melihat kesempatan di penjara, sebagai sebuah nikmat yang layak disyukuri.[17] Inilah sebagian manifestasi ibadah Imam Al-Kâzhim as. yang menghikayatkan ibadah nenek moyangnya yang yang telah menyerahkan seluruh hidup mereka kepada Allah swt. dengan tulus. Tentang ibadah Imam Al-Kâzhim as. ini, kami telah memaparkannya dalam buku kami, Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja‘far as. 6. Kesabaran dan Menahan Amarah Di antara karakter dan jati diri Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. yang paling menonjol adalah kesabaran dan mengekang amarah. Ia selalu memaafkan orang yang berbuat jahat kepadanya dan lapang dada terhadap orang yang menyakitinya. Bahkan ia selalu berbuat baik kepada orang yang berbuat tidak baik kepada dirinya. Reaksi semacam ini membuat sifat egoisme dan keburukan seseorang menjadi hilang. Para ahli sejarah banyak menceritakan manifestasi kemurahan hati Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. Menurut sebuah riwayat, seseorang dari keturunan Umar bin Khaththab pernah berbuat buruk terhadap Imam Al-Kâzhim as. dan mencaci-maki nenek moyangnya. Sebagian sahabat geram dan hendak memberi pelajaran kepada orang tersebut. Imam Al-Kâzhim as. melarang sahabat itu untuk melakukan hal itu, karena ia ingin menyelesaikanya dengan jalan yang lain. Imam Al-Kâzhim as. menanyakan tempat tinggal orang itu. Sahabat yang ditanya menjawab bahwa ia tinggal di sebuah sawah di sekitar kota Madinah. Imam Al-Kâzhim as. langsung menunggangi keledainya dan pergi menemuinya dengan menyamar. Imam Al-Kâzhim menemukan keturunan Umar itu. Ketika Imam Al-Kâzhim tiba di sisinya, orang itu mengenali Imam Al-Kâzhim. Orang itu langsung marah karena melihat tunggangan keledai Imam Al-Kâzhim as. telah merusak tanamannya. Imam Al-Kâzhim as. menghadapinya dengan lemah lembut seraya bertanya: “Berapakah ganti rugi yang kamu inginkan untuk kebun ini?” “Seratus dinar”, jawabnya pendek. Imam Al-Kâzhim as. kembali bertanya: “Berapakah keuntungan yang dapat kamu peroleh dari hasil sawah ini?” “Aku tidak mengetahui ilmu gaib”, jawab orang itu pendek. Imam Al-Kâzhim as. bertanya lagi: “Yang kumaksud, berapakah keuntungan yang kamu harapkan dari hasil sawah ini?” Ia menjawab: “Aku berharap keuntungan sebanyak dua ratus dinar.” Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. memberikan tiga ratus dinar kepadanya seraya berkata: “Ini untukmu, tanamanmu juga tetap menjadi milikmu.” Keturunan Khalifah Umar itu merasa malu atas kekurangajaran yang telah diperbuatnya terhadap Imam Al-Kâzhim as. Ia pun bergegas pergi ke masjid Nabawi. Ketika Imam Al-Kâzhim as. menyambutnya, orang itu pun berdiri dan menghampiri Imam Al-Kâzhim as. seraya berkata dengan suara yang keras: “Allah adalah lebih tahu di mana Dia harus meletakkan risalah-Nya.” Para sahabat orang itu berdatangan menghampirinya seraya menanyakan tentang perubahan menakjubkan itu. Ia menjawab dengan menjelaskan kemurahan Imam Al-Kâzhim as. Imam Al-Kâzhim as. menoleh kepada para sahabat seraya mengajukan pertanyaan: “Manakah yang lebih baik, cara yang kalian inginkan itu ataukah cara yang kugunakan untuk memperbaiki sikapya itu?”[18] Salah satu manifestasi kesabaran Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. yang lain adalah kisah berikut ini: Imam Kâzhim as. melewati sekelompok musuhnya. Di antara mereka terdapat Ibn Hayyâj. Ibn Hayyâj mengisyaratkan kepada salah seorang temannya untuk memegang kendali keledai Imam Al-Kâzhim as. Ibn Hayyâj mengklaim bahwa keledai itu miliknya. Temannya itu segera memegang tali kendali keledai Imam Al-Kâzhim as. seraya mengklaim bahwa keledai itu adalah milik Ibn Hayyâj. Imam Al-Kâzhim as. pun segera turun dan memberikan keledai itu kepadanya.[19] Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. selalu berwasiat kepada putra putrinya agar selalu bersabar dan bermurah hati. Ia berkata kepada mereka: “Hai anak-anakku, aku nasihati kalian dengan sebuah nasihat. Barang siapa yang menjaganya, maka ia akan memperoleh manfaat darinya. Jika seseorang datang kepada kalian dan mengucapkan kata-kata yang buruk di telinga kanan kalian, lalu pindah ke telinga yang kiri, kemudian ia meminta maaf kepada kalian seraya berkata, ‘Aku tidak pernah mengatakan apa-apa’, maka terimalah permohonan maafnya.”[20] Nasihat ini menandakan betapa besar kesabaran Imam Mûsâ Al-Kâzhim as., dan menunjukkan keluasan akhlak dan ketinggian jati dirinya. 7. Kemuliaan Akhlak Islam datang dengan membawa kemuliaan akhlak dan menganggap akhlak sebagai kaidah fundamental dalam risalah mulianya. Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.” Akhlak Rasulullah saw. adalah jelmaan dari kemuliaan manusiawi tertinggi. Setelahnya, para imam maksum as. mengikuti jejak beliau dalam membina akhlak yang mulia dan amal yang baik. Semua itu dapat dibuktikan dengan melihat perbuatan dan seluruh nasihat dan bimbingan yang telah mereka berikan kepada para sahabat mereka . Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. sangat memperhatikan masalah ini. Ia selalu berwasiat kepada para sahabatnya untuk menghiasi diri mereka dengan akhlak yang mulia supaya perilaku dan tindakan mereka menjadi suri teladan yang saleh bagi masyarakat. Berikut ini kami paparkan sebagian manifestasi kemuliaan akhlak yang pernah diriwayatkan tentang imam yang satu ini: a. Kedermawanan dan Keluhuran Perilaku Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. selalu menekankan kepada para sahabatnya untuk selalu dermawan dan berperilaku yang luhur. Ia berkata: “Orang yang dermawan dan berakhlak yang mulia berada di bawah pengawasan Allah. Dia tidak akan membiarkanya sehingga Dia akan memasukannya ke dalam surga. Allah tidak mengutus seorang nabi, kecuali ia adalah seorang yang dermawan. Ayahku selalu mewasiatkan kepadaku untuk selalu dermawan dan berperilaku yang luhur sampai ia wafat.” b. Ketabahan Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. juga selalu berwasiat kepada para sahabatnya untuk selalu tabah, walaupun bencana atau kesulitan menimpa mereka. Karena kegelisahan dan tindakan mengeluh dapat menghilangkan pahala yang telah Allah swt. janjikan kepada orang yang sabar. Imam Al-Kâzhim as. berkata: “Satu musibah itu tidak dapat mendatangkan pahala bagi seseorang, kecuali bila ia menghadapinya dengan tabah dan mengembalikan semua itu kepada Allah swt.” Dan ia juga berpesan: “Sesungguhnya kesabaran atas bencana lebih baik daripada kesehatan ketika senang.” c. Diam Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. senantiasa mewasiatkan kepada sahabatnya untuk lebih banyak diam dan menjelaskan kepada mereka manfaat diam. Ia pernah berkata: “Sesungguhnya diam adalah satu pintu dari sekian pintu hikmah. Sesungguhnya diam dapat menimbulkan rasa cinta, dan diam adalah bukti untuk semua kebaikan.” d. Memberikan Maaf dan Mendamaikan Orang Lain Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. selalu menganjurkan para sahabatnya untuk selalu memaafkan dan berbuat baik pada orang yang berlaku buruk terhadap mereka, sebagaimana ia juga menganjurkan kepada mereka untuk mendamaikan orang lain. Ia juga menjelaskan akibat orang-orang berbuat baik dan beramal saleh serta pahala yang besar di sisi Allah swt. Ia pernah berkata: “Seorang penyeru akan berseru pada hari kiamat akan berseru, ‘Barang siapa yang memiliki pahala di sisi Allah swt., hendaknya ia berdiri.’ Tak seorang pun yang berani berdiri kecuali orang yang suka memaafkan dan yang suka mendamaikan antara manusia.” e. Berucap yang Baik Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. juga selalu berwasiat kepada para sahabatnya untuk berkata dan berperilaku baik kepada manusia. Ia pernah berkata kepada Fadhl bin Yunus: “Berperilakulah yang baik dan berkatalah yang baik. Janganlah kamu memiliki sikap imma‘ah!” Fadhl bertanya: “Apakah imma‘ah itu?” Imam Al-Kâzhim as. menjawab: “Janganlah kamu selalu berkata, ‘Aku selalu mengikuti orang lain dan aku seperti salah seorang dari mereka.’ Sesungguhnya Rasulullah saw. pernah bersabda, ‘Wahai manusia, sesungguhnya di sini ada dua jalan: jalan kebaikan dan jalan keburukan. Jangan sampai jalan keburukan itu lebih kalian sukai daripada jalan kebaikan.’” e. Mensyukuri Nikmat Salah satu wasiat Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. kepada para sahabatnya adalah agar mereka selalu menampakkan dan mensyukuri nikmat Allah swt. Ia berkata: “Menyebut-nyebut (tahadduts) nikmat Allah swt. adalah sebuah cara bersyukur, dan meninggalkannya adalah kekufuran. Maka ikatlah nikmat Tuhan kalian itu dengan syukur, bersihkanlah harta kalian dengan zakat, dan tolaklah bencana itu dengan doa. Sesungguhnya doa adalah benteng yang dapat menghalau bencana, meskipun bencana itu sungguh-sungguh telah ditetapkan ….” Mutiara Hikmah Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. memiliki banyak mutiara hikmah. Dalam sebagian mutiara hikmah itu, ia memaparkan ajaran akhlak dan cara bermasyarakat (yang ideal). Berikut ini kami sebutkan beberapa mutiara hikmah tersebut: 1. Imam Al-Kâzhim as. berkata: “Pertolonganmu terhadap orang yang lemah adalah sedekah yang paling utama.” 2. Imam Al-Kâzhim as. berkata: “Seorang mukmin adalah lebih kokoh daripada gunung. Gunung bisa dihancurkan dengan cangkul, tetapi agama seorang mukmin tidak akan hancur dengan apapun.” 3. Imam Al-Kâzhim as. pernah berkata kepada Muhammad bin Al-Fadhl: “Hai Muhammmad, bohongkanlah pendengaran dan penglihatanmu tentang saudaramu. Seandainya lima puluh sumpah memberikan kesaksian kapadamu, sedangkan saudaramu itu mengucapkan satu ucapan kepadamu, maka percayalailah dia dan jangan kamu percayai seluruh sumpah itu. Dan janganlah kamu sebarkan sesuatu yang menjadi aib baginya.” 4. Imam Al-Kâzhim as. berkata: “Sebaik-baik ibadah setelah makrifah adalah intizhâr al-faraj (menunggu kemunculan Imam Mahdî as.).” 5. Imam Al-Kâzhim as. berkata: “Seorang mukmin seperti dua sisi timbangan. Semakin bertambah imannya, maka semakin banyak juga cobaannya.” 6. Imam Al-Kâzhim as. berkata: “Menyampaikan amanat dan jujur dapat mendatangkan rezeki. Tetapi khianat dan bohong dapat mendatangkan kefakiran dan kemunafikan.” 7. Imam Al-Kâzhim as. berkata: “Setiap kali seseorang berbuat dosa yang belum pernah ia lakukan, maka Allah swt. akan menimpakan kepadanya bencana yang belum pernah ia perkirakan.”[21] Dalam Penjara Hârûn Keutamaan, ilmu, dan kemuliaan akhlak Imam Mûsâ as. telah tersebar dan menjadi bahan pembicaraan masyarakat. Realita ini menjadi beban berat bagi Hârûn sebagai sosok yang paling dengki terhadap keturunan Ali as. Hârûn merasa resah dengan keberadaan seorang imam di antara keturunan Ali as. seperti Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. yang kaum muslimin sepakat untuk mengagungkan dan mengakui keutamaanya. Ketika Hârûn berada di Madinah, ia pergi ke kuburan Nabi saw. Ia menyampaikan salam seraya berkata: “Demi ayah dan ibuku, ya Rasulullah, aku minta maaf kepadamu lantaran perkara yang telah kuniatkan. Sesungguhnya aku berniat menangkap Mûsâ bin Ja‘far dan memenjarakannya, karena aku takut ia akan menyulut peperangan di antara umatmu yang dapat menumpahkan darah mereka.”[22] Hârûn mengutus bala tentaranya untuk menangkap Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. Ketika mereka sampai, Imam Al-Kâzhim as. sedang mengerjakan salat di samping makam kakeknya, Rasulullah saw. Mereka memotong salatnya. Ia mengadukan perbuatan mereka itu kepada Rasulullah saw. sembari berkata: “Aku hanya mengadu kepadamu, ya Rasulullah ....”[23] Mereka membawa Imam Al-Kâzhim as. ke hadapan Hârûn dalam keadaan terbelenggu. Ketika Imam Al-Kâzhim as. berada di depannya, Hârûn bertindak zalim dan berbicara kasar kepadanya. Hârûn menangkap dan memenjarakan Imam Al-Kâzhim as. pada tanggal 20 Syawal 179 H.[24] Di Penjara Bashrah Sang thagut, Hârûn, mengeluarkan perintah agar Imam Al-Kâzhim as. dibawa ke Bashrah. Ia menyuruh Isa bin Abi Ja‘far, gubernurnya atas Bashrah, untuk memenjarakan Imam Al-Kâzhim as. di salah satu rumah tahanan. Isa mengunci seluruh pintu penjara dan tidak membukanya kecuali untuk dua hal: pertama, ketika Imam Al-Kâzhim as. ingin bersuci, dan kedua, ketika ingin mengantarkan makanan kepada Imam Al-Kâzhim as.[25] Terfokus untuk Beribadah Imam Mûsâ as. selalu beribadah kepada Allah swt. Ia selalu berpuasa di siang hari dan salat pada malam hari. Ia tidak mengeluh karena dipenjarakan. Ia menganggap kesempatan untuk beribadah ini sebagai sebuah nikmat dari Allah swt. Imam as. selalu bersyukur atas ini dan berkata: “Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku selalu memohon untuk memberikan kepadaku kesempatan untuk beribadah. Ya Allah, sungguh Engkau telah lakukan itu. Maka segala puji hanya untuk-Mu ….”[26] Perintah kepada Isa untuk Membunuh Imam Al-Kâzhim as. Sang tiran, Hârûn, memerintahkan Isa, gubernur Bashrah, untuk membunuh Imam Al-Kâzhim as. Tetapi Isa merasa keberatan untuk melakukan hal itu. Akhirnya ia meminta pendapat para penasihatnya. Mereka menyarankan agar tidak melakukan perbuatan jahat tersebut. Isa menerima pendapat itu, dan menulis sepucuk surat kepada Hârûn. Di dalam surat itu, Isa memohon supaya dimaafkan dari keputusan membunuh itu. Isi surat itu adalah sebagai berikut: Telah lama Mûsâ bin Ja‘far berada dalam penjaraku. Aku telah mengawasi seluruh gerak-geriknya dengan mengutus mata-mata selama tempo ini. Aku tidak mendapati ia merasa lelah dari beribadah. Aku juga menyuruh seseorang untuk mendengarkan seluruh doa yang selalu dibacanya. Dia tidak pernah berdoa keburukan sama sekali atasmu dan juga tidak atasku. Tidak pernah juga ia menyebut-nyebut keburukan kita. Dia hanya mendoakan ampunan dan rahmat untuk dirinya. Jika memang engkau ingin melakukan hal itu, aku serahkan urusan ini kepada orang lain. Dan jika tidak, bebaskanlah dia. Karena aku merasa berat memenjarakannya.[27] Penawanan Imam Al-Kâzhim as. di Rumah Fadhl Hârûn Ar-Rasyîd mengabulkan permohonan Isa. Ia memerintahkan agar Imam Al-Kâzhim as. dibawa ke Baghdad dan diserahkan kepada Fadhl bin Rabî‘. Setelah menerima Imam Al-Kâzhim as., Fadhl menahannya di rumahnya. Imam Al-Kâzhim as. hanya menyibukkan diri dengan ibadah; berpuasa di siang hari dan salat di malam hari. Fadhl sangat kagum dengan ibadah Imam Al-Kâzhim as. Fadhl berbicara kepada sebagian sahabatnya betapa agungnya ketaatan Imam Al-Kâzhim as. kepada Allah swt. Abdullah Al-Qazwînî, salah seorang pengikut Syi‘ah, meriwayatkan berkata: “Aku pernah menjumpai Fadhl bin Rabî‘. Ketika itu ia sedang duduk di halaman rumahnya. Ia berkata kepadaku: ‘Mendekatlah kemari.’ Aku pun mendekat hingga berdiri sejajar dengannya. Ia berkata: ‘Tengoklah ke dalam rumah.’ Aku pun menengok ke dalam rumah. Setelah itu Fadhl bertanya: ‘Apa yang kau lihat di dalam rumah itu?’ ‘Aku hanya melihat pakaian terhampar’, jawabku. ‘Lihatlah baik-baik’, pinta Fadhl lagi ‘Aku melihat seseorang sedang sujud’, jawabku. ‘Apakah engkau mengenalnya?’, tanya Fadhl . ‘Tidak’, jawabku pendek. ‘Ia adalah pemimpinmu’, sela Fadhl. ‘Siapa pemimpinku’, tanyaku keheranan. ‘Engkau berpura-pura tidak tahu di depanku’, sergah Fadhl . ‘Aku tidak berpura-pura. Aku tidak merasa memiliki seorang pemimpin’, jawabku . ‘Ia adalah Abul Hasan Mûsâ bin Ja‘far’, tegas Fadhl.” Fadhl mulai bercerita kepada Abdullah tentang ibadah Imam Al-Kâzhim as. Ia berkata: “Aku senantiasa mengawasinya siang dan malam. Aku tidak mendapatinya pada setiap waktu dan kesempatan melainkan ia berada dalam keadaan yang telah kukabarkan kepadamu. Ia melakukan salat Shubuh. Seusai salat, ia membaca berbagai zikir sampai matahari terbit. Kemudian ia sujud sangat panjang hingga matahari tergelincir. Ia meminta kepada seorang pembantunya agar melihat kapan matahari tergelincir. Aku tidak tahu kapan pembantu itu memberitahukan kepadanya bahwa matahari telah tergelincir. Karena ia segera bangkit untuk melakukan salat lagi tanpa memperbaharui wudu ... Ketika itu aku tahu bahwa ia tidak tidur ketika melakukan sujud panjang. Ia juga tidak mengantuk dan ia senantiasa berada dalam kondisi seperti itu hingga usai mengerjakan salat Ashar. Setelah mengerjakan salat Ashar, ia sujud panjang hingga matahari terbenam. Apabila matahari telah terbenam, ia bangkit dari sujudnya untuk mengerjakan salat Maghrib tanpa memperbaharui wudu. Ia senantiasa mengerjakan salat dan berzikir hingga salat Isya’. Setelah usai mengerjakan salat Isya’, ia berbuka puasa dengan makanan yang telah disediakan untuknya. Setelah itu, ia memperbaharui wudu, kemudian ia sujud kembali. Setelah itu ia bangkit dari sujud dan tidur sejenak. Kemudian ia bangun lagi untuk memperbaharui wudu dan mengerjakan salat hingga fajar terbit. Kemudian mengerjakan salat Shubuh. Dan begitulah kebiasaannya semenjak ia diserahkan kepadaku.” Tatkala Abdullah melihat bahwa Fadhl betul-betul mengagungkan Imam Al-Kâzhim as., ia memperingatkannya agar jangan sampai menyakitinya sedikit pun. Abdullah berkata kepadanya: “Takutlah kepada Allah. Jangan sampai engkau ceritakan hal ini kepada siapa pun. Karena hal itu akan menyebabkan kemusnahan seluruh nikmatmu. Engkau sendiri tahu bahwa jika seseorang berbuat buruk kepada orang lain, pasti nikmatnya akan hilang.” Fadhl menimpali: “Mereka telah mengirimkan utusan kepadaku berkali-kali dan menyuruhku untuk membunuhnya. Tetapi aku tidak melaksanakan perintah itu. Aku tegaskan kepada mereka bahwa aku tidak akan melakukan hal itu. Sekalipun mereka membunuhnku, niscaya aku tidak akan mengabulkan apa yang mereka inginkan dariku itu.”[28] Kejenuhan Imam Al-Kâzhim as. Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. merasa jenuh dan lelah karena telah terlalu lama diam di penjara Hârûn. Akhirnya ia mohon kepada Allah swt. agar dibebaskan dari penjara Hârûn. Pada suatu malam yang gulita, ia mengerjakan salat empat rakaat dan berdoa kepada Allah: “Wahai Junjunganku, bebaskanlah aku dari penjara Hârûn. Bebaskanlah aku dari cengkeramannya. Wahai Dzat yang memisahkan pohon di antara pasir dan tanah, wahai Dzat yang memisahkan api di antara besi dan batu, wahai Dzat yang memisahkan susu di antara kotoran dan darah, wahai Dzat yang memisahkan anak di antara kandungan dan rahim, wahai Dzat yang memisahkan ruh di antara isi perut dan usus, bebaskanlah aku dari cengkeraman Hârûn ….”[29] Allah swt. mengabulkan doa wali-Nya itu dan membebaskannya dari penjara sang tiran, Hârûn. Hârûn membebaskan Imam Al-Kâzhim as. karena mimpi yang pernah ia lihat dalam tidurnya. Kisah mimpi ini telah kami paparkan dalam buku kami, Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja‘far as. Penawanan Imam Al-Kâzhim as. di dalam Penjara Fadhl bin Yahyâ Tidak lama setelah Imam Al-Kâzhim as. keluar dari penjara itu, Hârûn menangkapnya kembali dan memenjarakannya di penjara Fadhl bin Yahyâ. Fadhl bin Yahyâ melayani dan memperlakukan kepada Imam Al-Kâzhim as. dengan baik dan penuh penghormatan, suatu perlakuan yang tidak pernah ia alami di penjara-penjara lainnya. Seorang pengkhianat yang mengetahui perlakukan Fadhl terhadap Imam Al-Kâzhim as. segera melaporkan kepada Hârûn. Hârûn naik pitam dan menyuruh beberapa orang algojo agar mencambuk Fadhl sebanyak seratus kali. Mereka segera melaksanakan perintah itu. Hârûn memanggil para menteri, komandan pasukan, dan para pemuka masyarakat untuk hadir ke istana. Ia berkata dengan geram: “Hai manusia, sesungguhnya Fadhl bin Yahyâ telah berkhianat kepadaku dan menentang perintahku. Aku akan mengutuknya, maka kutuklah dia.” Suara gemuruh terdengar di ruang istana mengutuk dan mencerca Fadhl. Yahyâ bin Khâlid yang turut hadir di pertemuan itu segera mendekati Hârûn seraya berbisik kepadanya: “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Fadhl masih seumur jagung. Aku akan memenuhi apa yang Anda inginkan.” Mendengar ucapan Yahyâ itu, Hârûn merasa terhibur dan murkanya segera sirna. Ia menampakkan kerelaannya kepada Fadhl seraya berkata: “Fadhl memang telah menentang perintahku, dan aku telah melaknatnya. Sekarang ia telah bertobat dan kembali menaatiku. Maka kalian cintailah dia.” Suara gemuruh kembali terdengar dari setiap sudut ruang pertemuan itu mendeklarasikan ketaatan dan pengokohan terhadap politik yang kontradiksi ini. Mereka berkata: “Wahai Amirul Mukminin, kami mencintai orang yang Anda cintai dan memusuhi orang yang Anda musuhi. Dan kini kami mencintai Fadhl.”[30] Di Penjara As-Sindî Hârûn Ar-Rasyîd mengeluarkan perintah agar Imam Al-Kâzhim as. dipindahkan dari penjara Fadhl bin Yahyâ ke penjara As-Sindî bin Syâhik. As-Sindî adalah seorang majusi, algojo yang keji, dan tidak beriman kepada Allah dan hari akhirat. Ia memperlakukan Imam Al-Kâzhim as. dengan betul-betul keji. Pada akhirnya, ia meracun Imam Al-Kâzhim as. Racun itu merembet ke seluruh tubuh Imam Al-Kâzhim as. dengan cepat sehingga ia betul-betul merasakan sakit yang luar biasa. Akhirnya Imam Al-Kâzhim as. menjumpai Allah swt. Dunia pun menjadi gelap dengan kepergiannya. Sementara akhirat bersinar dengan kedatangannya. Berbagai macam penyiksaan dan duka telah ditimpakan kepada Imam Al-Kâzhim as. oleh Hârûn Ar-Rasyîd, tiran masa itu, yang hatinya telah dipenuhi dengan kedengkian dan permusuhan terhadap keluarga Rasulullah saw. Semua itu dihadapi oleh Imam Al-Kâzhim as. dengan ikhlas karena Allah swt . Bala tentara Hârûn segera melakukan penelitian untuk mencari faktor kematian Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. Hal ini mereka lakukan untuk membebaskan Hârûn dari segala tuduhan. ‘Amr bin Wâqid bercerita: “Pada suatu malam, As-Sindî bin Syâhik mengutus seseorang kepadaku. Ketika itu aku berada di Baghdad. Aku merasa khawatir ia hendak berbuat jahat terhadapku. Kemudian aku meminta isteriku agar menyiapkan seluruh bekal yang kuperlukan. Aku berseru, ‘Innâ lillâh wa innâ ilahi râji‘ûn.’ Lalu aku menaiki kudaku untuk menemui As-Sindî. Ketika ia melihatku sedang datang, dia berkata kepadaku, ‘Hai Abu Hafsh, nampaknya engkau merasa khawatir?’ ‘Ya’, jawabku pendek. ‘Tidak ada apa-apa. Urusan baik’, jawab As-Sindî menghibur. ‘Utuslah seseorang kepada keluargaku untuk memberitahukan kepada mereka bahwa aku tidak apa-apa’, pintaku. ‘Baiklah’, jawab As-Sindî singkat. Setelah aku merasa lega dan tenang hati, As-Sindî berkata kepadaku: ‘Hai Abu Hafsh, tahukah engkau, mengapa aku mengutus seseorang memanggilmu?’ ‘Tidak tahu’, jawabku singkat. ‘Apakah kamu kenal Mûsâ bin Ja‘far?’, tanyanya lagi. ‘Aku kenal dia. Aku bersahabat dengannya sejak bertahun-tahun’, jawabku. ‘Apakah di Baghdad ada orang yang kamu kenal dan dapat dipercayai ucapannya bahwa ia mengenal Mûsâ bin Ja‘far?’, tanyanya lagi. ‘Ya, ada’, jawabku pendek. Lalu aku menyebutkan beberapa orang yang mengenal Imam Al-Kâzhim as. Mereka semua dipanggil. Ketika mereka telah berkumpul, As-Sindî berkata kepada mereka, ‘Apakah kalian mengenal orang yang mengenal Mûsâ bin Ja‘far?’ Mereka pun menyebutkan beberapa orang yang mengenal Imam Al-Kâzhim as. Mereka pun diminta datang pada malam itu juga. Ketika fajar mulai nampak, orang-orang yang mengenal Imam Al-Kâzhim as. dan dihadirkan sebagai saksi telah berkumpul sejumlah lebih dari 50 orang. As-Sindî menyuruh sekretarisnya agar menulis nama, karakter, alamat rumah, dan pekerjaan mereka. Setelah itu, ia keluar bersama orang-orang trersebut. As-Sindî berkata kepadaku, ‘Hai Abu Hafsh, bangkitlah dan bukalah kain yang menutupi wajah Mûsâ bin Ja‘far itu.’ Aku pun berdiri dan membuka kain yang menutupi wajah Imam Al-Kâzhim as. Ternyata ia telah meninggal dunia. As-Sindî menoleh kepada orang-orang yang hadir dan berkata kepada mereka, ‘Lihatlah dia.’ As-Sindî menyuruh mereka untuk melihat jenazah Imam Al-Kâzhim as. lebih dekat. Lalu ia berkata kepada mereka, ‘Apakah kalian bersaksi bahwa jenazah ini adalah Mûsâ bin Ja‘far?’ ‘Ya’, jawab mereka . Kemudian As-Sindî menyuruh pembantunya agar membuka baju Imam Al-Kâzhim as. Pembantu itu segera melaksanakan perintahnya. As-Sindî berkata kepada mereka, ‘Apakah kalian melihat bekas-bekas di tubuhnya yang aneh?’ ‘Tidak’, jawab mereka pendek. Kemudain As-Sindî mencatat kesaksian mereka dan mereka pun segera bubar.[31] Setelah itu, As-Sindî memanggil para fuqaha, para pembesar, dan pemuka masyarakat. Ia meminta kesaksian mereka untuk tujuan membebaskan Hârûn dari berbagai tuduhan dan menghilangkan keraguan atas kematian Imam Al-Kâzhim as. Jenazah Imam Al-Kâzhim as. Dicampakkan di Atas Jembatan Setelah ritual persaksian itu usai, As-Sindî meletakkan jenazah Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. yang mulia di atas jembatan Rashâfah sehingga orang-orang yang berlalu-lalang di situ, baik yang berasal dari daerah dekat maupun jauh, menyaksikan jenazah itu. Wajah Imam Al-Kâzhim as. yang mulia tidak ditutupi sehelai kain pun. Tujuan penguasa zalim dengan itu semua adalah untuk mempermalukan dan merusak kehormatan Imam Al-Kâzhim as., menghinakan Syi‘ah, dan merendahkan kehormatan mereka. Tapi usaha Hârûn Ar-Rasyîd pasti gagal. Ia adalah imam yang dikenang masa dan makamnya adalah makam yang terindah dari sekian makam para wali Allah yang saleh. Makam ini senantiasa diliputi curahan rahmat Ilahi. Kaum muslimin tak henti-henti menziarahinya. Kini, lihatlah Hârûn. Ia tidak memiliki bekas sedikit pun untuk diingat dan juga tidak mempunyai kuburan untuk diziarahi. Ia dikuburkan bersama keluarganya di dalam kegelapan abadi. Kelak Allah swt. akan mengadakan perhitungan atas segala kezaliman dan kedurjanaannya dengan perhitungan yang sangat sulit. Penguasa tiran ini tidak cukup memperlakukan Imam Al-Kâzhim as. sampai di situ. Ia semakin jauh dalam jurang kesesatan dan kejahatan. Ia menyuruh budak-budaknya agar menggiring jenazah Imam Al-Kâzhim as. di jalan-jalan raya Baghdad sambil berteriak: “Inilah Mûsâ bin Ja‘far yang diakui oleh para pengikutnya tidak akan mati. Lihatlah, kini ia telah menjadi mayat.”[32] Di samping itu, mereka juga meneriakkan yel-yel yang sangat keji. Sebagai ganti dari slogan “Imam Mûsâ as. adalah orang baik putra orang baik”, mereka malah mengatakan sebaliknya. Sulaiman bin Abu Ja‘far Al-Manshûr segera bangkit untuk mengurus jenazah Imam Al-Kâzhim as. Para pembantunya segera merampas jenazah Imam Al-Kâzhim as. dari tangan bala tentara Hârûn seraya berteriak dengan suara lantang: “Barang siapa yang ingin menghadiri tasyyî‘ jenazah orang baik putra orang baik, Mûsâ bin Ja‘far ini, maka segera hadilah.” Mendengar seruan itu, masyarakat dari berbagai tingkatan keluar untuk mengiringi jenazah Imam Mûsâ Al-Kâzhim as. sehingga kota Baghdad tidak pernah menyaksikan acara tasyyî‘ jenazah seagung itu. Jalan-jalan raya dipenuhi dengan arak-arakan yang mengulang-ulang ungkapan kesedihan dan duka nestapa yang mendalam atas syahadah imam yang agung ini. Sulaiman bin Abu Ja‘far berada di bagian depan barisan bersama seluruh aparat yang berkuasa. Jenazah Imam Al-Kâzhim as. dibawa ke pemakaman Quraisy. Di sana mereka menggali kuburan untuk Imam Al-Kâzhim as. Sulaiman menurunkan jenazahnya di tempat persinggahannya yang terakhir. Kemudian Sulaiman menguburnya bersama seluruh karakteristik terpuji, kelembutan, ilmu pengetahuan, kemuliaan, dan teladan yang luhur. Salam sejatera untuknya ketika ia dilahirkan, ketika ia meneguk cawan syahadah, dan ketika ia dibangkitkan hidup kembali. [1] Al-Fiqh Al-Islami, Madkhal li Dirâsah Nizhâm Al-Mu‘âmalah, hal. 160. [2] Nuzhah An-Nâzhir fî Tanbîh Al-Khâthir, hal. 45. [3] Al-Manâqib, jilid 3, hal. 429. [4] QS. Al-Anfâl [8]:72. [5] QS. Al-An‘âm [6]:85-85 . [6] QS. Ali ‘Imrân [3]:61 . [7] Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja‘far as., jilid 1, hal. 261-265. [8] Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja‘far as., jilid 1, hal. 138. [9] Al-Irsyâd, hal. 272. [10] Bihâr Al-Anwâr, jilid 11, hal. 265. [11] UshûlAl-Kâfî, jilid 2, hal. 134. [12] ‘Umdah Ath-Thâlib, hal. 185. [13] Târîkh Baghdad, jilid 13, hal. 28; Kanz Al-Lughah, hal. 766. [14] Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja‘far as., jilid 1, hal 161-162. [15] Wafayât Al-A‘yân, jilid 4, hal. 93; Kanz Al-Lughah : 766 [16] Târîkh Abil Fidâ’, jilid 2, hal. 12 [17] Al-Anwâr Al-Bahiyyah, hal. 93 . [18] Târîkh Baghdad, jilid 13, hal. 28-29; Kasyf Al-Ghummah, hal. 247. [19] Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja‘far as., jilid 1, hal. 157. [20] Al-Fushûl Al-Muhimmah, hal. 22 . [21] Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja‘far as., jilid 1, hal. 275-259. [22] Bihâr Al-Anwâr, jilid 17, 196 . [23] Al-Manâqib, jilid 2, hal. 395. [24] Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja‘far as., jilid 2, hal. 465. [25] Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja‘far as., jilid 2, hal. 466. [26] Al-Manâqib, jilid 2, hal. 279. [27] Kasyf Al-Gummah fî Ma‘rifah Al-A'immah, jilid 3, hal. 25. [28] ‘Uyûn Akhbâr Ar-Ridhâ, jilid 1, hal. 98-99. [29] Al-Manâqib, jilid 2, hal. 370. [30] Maqâtil At-Thâlibiyyîn, hal. 503-504. [31] Bihâr Al-Anwâr, jilid 11, hal. 30. [32] Hayâh Al-Imam Mûsâ bin Ja‘far as., jilid 2, hal. 522. |