28 November 2007

Sahr Banu (Jahn Syah)


Pada hari kelabu tanggal 10 Muharram yang disebut hari Asyura itu, sesuai rencana Imam Husain as dan istrinya, Hazrat Sahr Banu, Dzuljanah sempat menunaikan tugasnya melarikan Shar Banu ke suatu tempat. Dalam sejarah dikisahkan sebagai berikut:

Tatkala Dzuljanah kembali ke perkemahan tanpa tuan yang telah menungganginya, seorang wanita yang mengenakan hijab tertentu turut mendekati Dzuljanah lalu menciuminya sambil meratap dan memeras air mata kesedihan. Wanita itu adalah Sahr Banu as, satu-satunya wanita non-Arab diantara wanita keluarga Imam Husain as yang mengerumuni Dzuljanah yang sudah penuh luka itu. Dia adalah puteri raja Persia yang telah mendapat anugerah Allah untuk menikah dengan cucu Rasul, Imam Husain as, dan setia kepadanya hingga akhir hayatnya sehingga dia tergolong wanita paling mulia. Tentang jatidirinya, ibu para imam suci sesudah Imam Husain ini berkisah sendiri sebagai berikut:

"Di suatu malam aku pernah bermimpi berjumpa dengan Khatamul Anbiya Muhammad Al-Mustafa saww. Beliau singgah di beranda istanaku yang megah. Beliau bersabda kepadaku: 'Hai puteri raja Persia, aku telah menjodohkan kamu dengan puteraku, Husain.' Rasul kemudian pergi meninggalkan istana. Setelah itu aku didatangi oleh seorang wanita mulia, Fatimah Azzahra as yang diiringi oleh para bidadari. Beliau memelukku sambil berkata: 'Kamu adalah calon isteri puteraku. Kamu adalah menantuku. Ketahuilah bahwa tak lama lagi umat Islam akan menaklukkan (kerajaan)-mu sehingga kamu akan menjadi tawanan. Tetapi janganlah kamu risau, karena di Madinah kamu akan berjumpa dengan (calon) suamimu.'"

Benar, tak lama setelah itu terjadilah perang besar antara pasukan Islam dan pasukan imperium Persia. Prajurit Islam berhasil menaklukkan kerajaan besar ini. Sang raja[1] melarikan diri, sementara sebagian dari keluarga istana, termasuk puteri-puteri raja, tertangkap dan menjadi tawanan. Mereka diboyong ke Madinah. Kedatangan puteri sang raja mengundang perhatian warga Madinah sehingga mereka datang berbondong-bondong untuk menyaksikannya. Saat itu, di dalam masjid khalifah Umar menyakan dimana puteri-puteri raja itu. Orang-orang lantas menunjukkan mereka. Rupanya, satu diantara mereka nampak sangat anggun dan seperti bercahaya. Umar meminta puteri anggun supaya memperlihatkan wajahnya yang tersembunyi di balik cadar. Namun, puteri ketakutan dan menolak.

Diperlakukan seperti itu, Umar sebagai khalifah tersinggung berat sehingga dia memerintahkan supaya tawanan yang satu ini dihukum mati. Untungnya, diantara hadirin terdapat Imam Ali bin Abi Thalib as. Sepupu Rasul ini bangkit menentang perintah eksekusi itu.
"Dosa apa puteri sehingga kamu akan mengeksekusinya?", tanya Imam Ali as.
"Orang ajam (non Arab) ini telah menghinaku." Jawab Umar.

Imam Ali as berkata: "Dia membenci kakeknya, Khusru, dan dia tidaklah seperti para pengeran sehingga kamu pantas memperlakukannya demikian. Bebaskanlah puteri-puteri ini agar mereka bisa mendapatkan jodohnya diantara para pemuda kita."

Ide Imam Ali ini kemudian dipenuhi sehingga didatangkanlah para pemuda Muslim Madinah di aula masjid. Imam Ali as meminta kepada puteri-puteri bangsawan itu untuk bangkit dan memilih jodoh yang dikehendakinya diantara para pemuda itu.

Dalam kitab AlKharaij Arrawandi dikisahkan bahwa saat itu puteri raja Persia yang paling anggun itu bangkit dan menatap satu persatu barisan pemuda yang menyatakan siap untuk menikah dengan puteri-puteri raja itu. Sampai pada giliran pemuda Husain bin Ali as, tatapan mata gadis bernama Jahan Syah itu terhenti dan tak berpijak ke arah lain. Setelah merasa yakin dengan pemuda putera Azzahra as itu, dia berkata: “Jika aku memang diberi pilihan, maka aku akan memilih pemuda ini.”‌

Setelah dipilih gadis itu, Imam Husain as yang saat itu berusia 18 tahun memintanya supaya nama Jahan Syah diganti dengan nama Syahrbanu.[2] Imam Ali as kemudian meminta Imam Husain supaya segera membawa menantunya itu pulang. Beliau juga memberitahu Imam Husain bahwa perkawinan ini akan segera dianugerahi dengan kelahiran seorang putera yang sangat agung dan mulia. Putera itu tak lain adalah Ali Zainal Abidin Assajjad as. Putera yang berusia 23 tahun saat ayahandanya dibantai di padang Karbala pada hari Asyura, dan dia sendiri dalam keadaan sakit parah dan ditangisi oleh ibundanya.

Menjelang detik-detik perpisahan dengan suaminya, Imam Husain as, Sahr Banu bersimpuh dengan beliau. “Wahai putera Rasul.”‌ Ucap Shar Banu. “Demi ibundamu Fatimah Azzahra, pikirkanlah nasibku nanti, karena di sini akulah orang yang paling asing. Selama ini aku bernaung di bawahmu dan dengan ini aku menjadi mulia. Namun, katakanlah apa yang aku lakukan nanti setelah kepergianmu? Aku bukanlah orang Arab (ajam), dan engkau sendiri tahu besarnya permusuhan antara Arab dan ajam.”‌
Sambil berlinang air mata, Imam Husain as menjawab: “Janganlah cemas, sebab Allah yang telah mengantarkanmu dari negeri ajam ke negeri Arab mampu mengembalikanmu ke negerimu lagi. Nantikanlah nanti sepeninggalku; Dzuljanah akan datang ke perkemahan. Naikilah Dzuljanah dan pergilah dari sini, dan ketahuilah pasukan musuh tidak akan bisa berbuat apa-apa terhadapmu.”‌

Diriwayatkan bahwa ketika Dzuljanah kembali dalam keadaan tak bertuan, Shar Banu ikut menyambutnya dengan ratap tangis hingga kemudian mengendarainya untuk pergi ke negeri asalnya. Sebelum pergi, beliau sempat ditegur oleh Hazrat Zainab.
“Hai menantu Fatimah Azzahra, gerangan yang sedang engkau pikirkan? Adakah engkau akan menambah berat beban kesedihan kami dengan kepergianmu?”‌ Ujar Hazrat Zainab.

“Aku harus pergi sesuai perintah suamiku, Husain.”‌ Jawab Sahr Banu kepada adik iparnya itu.
Kepergian Hazrat Sahr Banu menuju negeri Persia itu dilepas dengan derai tangis orang-orang yang ditinggalkannya. Saat Dzuljanah sudah siap mengantarkan perjalanan jauh itu, Assajjad berkata lirih kepada ibundanya:

“Ibunda, bersabarlah hingga aku ucapkan salam perpisahan denganmu.”‌[3]
Assajad berusaha bangkit, namun tenaganya yang tersisa tak mendukungnya untuk berbuat itu sehingga sang ibu mendekati sendiri anaknya. Sambil memeluknya erat-erat beliau berucap: “Aku harus pergi dari sini sesuai perintah ayahmu. Aku telah menitipkanmu kepada bibimu,
Zainab, karena aku tahu dia lebih penyayang daripada aku.”‌ Ibunda Assajjad akhirnya pergi dibawa oleh Dzuljanah. Beberapa orang pasukan musuh sempat melihat bayangannya dari kejauhan saat beliau bergerak pergi seorang diri. Mereka berusaha mengejarnya, namun mereka terpaksa kembali lagi setelah kecepatan kuda Dzuljanah tak terkejar oleh kuda-kuda pasukan musuh.

Dalam perjalanan, Hazrat Sahr Banu sempat berpapasan dengan kafilah yang sedang bergerak menuju Kufah. Orang-orang kafilah berhenti saat menyaksikan seorang wanita bercadar sendirian mengendarai kuda yang penuh luka. Seorang lelaki yang mengetuai kafilah mencegat beliau dan bertanya: “Hai siapa kamu? Mengapa kamu menempuh perjalanan seorang diri di tengah sahara?”

Suara lelaki itu dikenal oleh Sahr Banu. Pria itu ternyata adik beliau dan setelah saling menyadari, beliau balik bertanya: “Adikku, hendak kemanakah kamu?”
Pria itu menjawab: “Aku hendak menemui suamimu. Karena dia telah menuliskan surat kepadaku dan menyatakan bahwa beliau akan berperang dengan sekelompok musuh, dan sekarang aku datang bersama teman-temanku untuk membantunya.”‌

Sahr Banu menjawab: “Tak usah kamu pergi. Kembalilah karena Husain sudah terbunuh dalam keadaan kehausan, dan inilah kudanya sekarang aku kendarai.”

Berita ini mengejutkan sang adik yang segera jatuh tersimpuh ke pasir. Sahr Banu kemudian melanjutkan perjalanan ke arah tujuan sebagaimana mereka juga melanjutkan perjalanan ke arah tujuan mereka, setidaknya untuk menyaksikan bagaimana nasib keluarga Imam Husain as.
Dengan bantuan dan perlindungan dari Allah, janda Imam Husain as berdarah bangsawan Persia itu akhirnya tiba di bumi leluhurnya. Beliau menetap di kota Rey dan meninggal di sana. Jasad suci beliau dikebumikan di sebuah gunung di pinggiran kota Teheran. Lokasi makamnya selalu disesaki para peziarah hingga kini.

----------------------------
[1] Raja itu adalah Yazdgard III. Disebutkan bahwa saat terjadi perang Qadisiah yang menewaskan lima puluh ribu pasukan Persia, Raja Yazdgard terpaksa melarikan diri. Sebelum melarikan diri dia sempat berdiri di beranda istana sambil berseru: "Selamat tinggal beranda! Ketahuilah bahwa aku akan kembali kepadamu, atau kalau bukan aku, maka yang kembali adalah seorang pria dari keturunanku." Sulaiman Addailami pernah bertanya kepada Imam Ja’far Asshadiq as tentang siapa yang dimaksud oleh Raja Persia itu. Imam Asshadiq as menjawab: "Dia adalah Al-Qaim, yaitu salah seorang puteraku dari generasi keenam, dan dia juga termasuk keturunan Yazdgard III. (Kitab Malahim hal.149 menukil dari Ibnu Shar Asyub dalam bab Imamah; Setara-e Dirakhsyan juz 1 hal. 230)
[2
] Arba’in Husaini hal.130
[3] Jami’ Annurain hal.228

Kata-Kata Hikmah Amirul Mukminin Ali Bin Abi Thalib as

Imam Ali a.s berkata:
“Urusan kami adalah sulit dan menyulitkan, itu hanya diketahui dan diperakui oleh tiga golongan: Malaikat Muqarrab, Nabi Mursal dan mukmin cerdik yang telah diuji imannya oleh Allah”

“Jika aku memberitahu kepada kamu apa yang aku telah aku dengar dari lisan Abu al-Qasim Saww , niscaya kamu akan keluar dari sisiku dan berkata: Sesungguhnya Ali adalah pendusta yang paling besar”.

“Jika aku memaksa mereka supaya meninggalkannya (bid'ah) dan mengembalikan keadaan sebagaimana di zaman Rasulullah Saww, niscaya tentaraku akan bertaburan lari dariku, meninggalkanku sendirian atau hanya sedikit saja di kalangan Syiahku yang mengetahui kelebihanku, dan imamahku melalui Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah Saww akan tinggal bersamaku”

“Aneh! Mereka melihat Sunnah Nabi mereka bertukar dan berubah sedikit demi sedikit, bab demi bab, kemudian mereka meridhainya tanpa sebarang penentangan. Malah mereka mempertahankannya pula. Mereka mencela orang yang mengkritik dan mengingkarinya. Kemudian kaum yang datang selepas kita akan mengikuti bid‘ah-bid‘ah tersebut sebagai sunnah Rasulullah Saww.”

27 November 2007

Akal dalam Cahaya Wahyu dan Hadis Maksumin As


Oleh: Ruhullah Syams


"Akal juga dalam riwayat merupakan maujud yang paling dicintai Tuhan dan menjadi parameter untuk pahala dan dosa anak-anak Adam, serta merupakan hujjah bathin bagi manusia. Abu Abdillah As berkata: "Ketika Tuhan menciptakan akal, Tuhan berkata padanya: menghadaplah, maka akal menghadap, kemudian berkata padanya: membelakanglah, maka akal membelakang, kemudian Tuhan berkata: "Demi kemuliaanku dan keagunganku, tidak aku ciptakan makhluk yang lebih aku cintai darimu, denganmu Aku mengambil, denganmu Aku memberi, dan denganmu Aku mengumpulkan (membangkitkan)."

Kitab Al-Quran adalah suatu kitab suci yang sangat memberi penekanan dan kontribusi besar bagi akal dalam berbagai lapangan pengetahuan dan kehidupan. Dalam agama islam menerima keyakinan agama harus lewat pemikiran dan perenungan akal, dan Al-Qur'an dalam hal ini senantiasa mengajak untuk berpikir, bertadabbur, dan menjauhi taqlid buta dalam berbagai masalah akidah dan keyakinan, serta memandang sangat buruk orang-orang yang tidak menggunakan akalnya (Q.S : Yunus :100). Akal juga dalam riwayat merupakan maujud yang paling dicintai Tuhan dan menjadi parameter untuk pahala dan dosa anak-anak Adam, serta merupakan hujjah bathin bagi manusia.

Abu Abdillah As berkata: "Ketika Tuhan menciptakan akal, Tuhan berkata padanya: menghadaplah, maka akal menghadap, kemudian
berkata padanya: membelakanglah, maka akal membelakang, kemudian Tuhan berkata: "Demi kemuliaanku dan keagunganku, tidak aku ciptakan makhluk yang lebih aku cintai darimu, denganmu Aku mengambil, denganmu Aku memberi, dan denganmu Aku mengumpulkan (membangkitkan) (Bihâr al-Anwâr Juz 1\96)

Demikian pentingnya fungsi akal bagi manusia, maka Al-Qur'an menekankan pada manusia untuk memanpaatkan nikmat besar Tuhan ini dengan cara mengajak manusia menghilangkan dan menghancurkan berhala-berhala yang menjadi penghalang penggunaan akal supaya akal mampu mengutarakan argumen-argumen rasional. Adapun hal-hal yang bisa menghalangi manusia menggunakan akal rasionalnya menurut Al-Qur'an :

1. Berpandangan empirisme;
2. Taqlid buta;
3. Mengikuti hawa nafsu.


1. Berpandangan empirisme
Ayat-ayat suci Al-Qur'an yang berbicara tentang masalah-masalah ini seperti:

"Dan berkata orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami (hari akhirat), mengapa tidak diturunkan atas kami malaikat atau kami melihat (dengan mata lahiriah) Tuhan kami…"(Q.S: Al-Furqan :21).
Dan ayat yang serupa dalam (Q.S : Al-Baqarah :55) :
"Dan ingatlah ketika kamu (Bani Israil) berkata wahai Musa! kami tidak akan beriman padamu hingga kami melihat Allah secara jelas (dengan mata lahiriah ;".

Jadi orang-orang seperti ini berpandangan empirisme, menolak pandangan-pandangan yang tidak dijangkau oleh panca indera dan pengalaman empirik, yakni mereka tidak meyakini adanya wujud-wujud non materi dan gaib dari panca indera. Dunia kita dewasa ini dipenuhi orang-orang yang berpandangan seperti ini, terutama peradaban barat yang dikuasai pandangan dunia materialisme dan filsafat materialisme, serta orang-orang timur (termasuk kaum muslimin) yang dipengaruhi oleh pandangan barat dan kebarat-baratan (Westernisasi).

2. Taqlid buta
Dan adapun ayat-ayat Al-Qur'an yang berkenan mencela taqlid buta dan melarang manusia dari perbuatan tersebut seperti: "Atau Kami mendatangkan kitab pada mereka sebelumnya dan mereka berpegang? Bahkan mereka berkata sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami dalam satu ummah (tradisi, budaya, kepercayaan), dan sesungguhnya kami juga mendapat petunjuk untuk mengikuti mereka. Dan demikian tidak Kami mengutus dari sebelum kamu dalam suatu Qaryah (daerah) dari seorang pengingat kecuali berkata orang-orang kaya diantara mereka sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami dalam suatu ummah dan sesungguhnya kami melaksanakan (melanjutkan) peninggalan-peninggalan mereka. (Nabi-nabi mereka) berkata : apakah jika aku membawa petunjuk yang lebih memberi hidayah padamu dari apa yang kamu dapati dari bapak-bapak kamu (kamu juga akan tetap mengingkari)? Mereka berkata (ya!) sesungguhnya kami dengan apa
yang kamu diutus dengannya adalah kafir" (Q.S As-Zukhruf : 21-24).

Orang orang seperti ini tidak lagi menggunakan logika dan rasio akalnya, tetapi mereka hanya mencukupkan diri dengan apa yang mereka dapatkan dalam bentuk budaya, tradisi, dan kepercayaan dari nenek-nenek moyang mereka, meskipun pada dasarnya tradisi dan budaya tersebut sangat bertolak belakang dengan akal sehat mereka. Tapi perlu juga kami kemukakan di sini bahwa taqlid yang dicela oleh agama adalah taqlid buta yang tak berdasar, yang tak memiliki manfaat memperbaiki kehidupan individu dan masyarakat. Sebab tak bias dipungkiri bahwa dalam kehidupan kita, taqlid itu sendiri banyak memiliki peran
dalam menyelesaikan berbagai masalah. Dan merupakan tabiat manusia bahwa taqlid dari orang jahil kepada orang berilmu merupakan keharusan, dan sesuai dengan logika serta akal. Misalnya taqlid orang sakit pada dokter, taqlid
orang yang membutuhkan bangunan rumah pada arsitektur, dan dalam konteks agama taqlid orang-orang yang tak belajar fiqihi secara khusus dan mendalam (sampai maqam mujtahid) pada marja taqlid (fuqaha). Model dan cara taqlid seperti ini tidak dicela oleh akal, bahkan akal menjadi dasar logis bertaqlid dalam konteks tersebut.

3. Mengikuti hawa nafsu
Al-Qur'an juga melarang manusia mengikuti hawa nafsu, sebab dengan mengikutinya akal dan rasio menjadi tertutup. Ayat-ayat yang berkenan masalah ini seperti: " Tapi orang-orang dzalim dengan tanpa ilmu mengikuti hawa nafsu mereka, maka siapa yang dapat memberi petunjuk pada orang yang Allah telah sesatkan? Dan bagi mereka tidak ada lagi penolong" (Q.S Ar-Rum :29).

Dan ayat: "Maka jika mereka tidak mengijabah kamu (menerima usulan kamu),
ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanya mengikuti hawa nafsu mereka. Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya dan tidak menerima petunjuk dan hidayah Tuhan? Dan sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk pada orang-orang dzalim" (Q.S : Al-Qishas :50).

Pada dasarnya sangat banyak orang-orang yang dengan pikiran dan akalnya mengetahui prinsip-prinsip kebenaran dan kebaikan yang dibawa oleh para Nabi-nabi Tuhan as, tetapi karena kepentingan dan kecenderungan mereka untuk mengikuti hawa nafsu mereka, maka kebenaran dan kebaikan yang cahayanya seterang mentari disiang hari yang tak bermega ini ditolak dan diabaikan.

Dan adapun pekerjaan akal dalam hal kemampuan berargumen dan berdalil, terdapat ayat-ayat Al-Qur'an dalam masalah-masalah tersebut, misalnya kemampuan akal memberi pendekatan yang sipatnya rasio dengan sipat yang inderawi dengan permisalan dan penganalogian. Ayat yang berkenan hal ini seperti: "Kemudian hati-hati kamu sesudah itu keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi, sebab sesungguhnya sebagian dari pada batu, ada yang terbelah dan darinya mengalir sungai-sungai, dan sesungguhnya sebagian lagi dari pada batu, ada yang terpecah dan keluar darinya air, dan sebagian lagi terjatuh dan terjerembab karena takutnya pada Tuhan , (dan adapun hati-hati kamu sama sekali tidak pernah bergetar karena takut pada Tuhan, dan juga tidak pernah menjadi sumber ilmu, pengetahuan dan kasih sayang kemanusiaan), dan Allah tidak pernah lalai dari apa yang kamu lakukan" (Q.S : Al-Baqarah: 74).

Juga terdapat ayat-ayat Al-Qur'an yang mengajak berdalil dan berargumen akal dengan cara memperlihatkan kelemahan dan kekurangan apa yang diperbuat manusia dalam masalah dan subyek tersebut. Seperti ayat: "Katakanlah siapakah Tuhan langit dan bumi? Katakanlah Allah! (kemudian) Katakanlah apakah kamu mengambil auliya (wali-wali atau tuhan-tuhan) selain Tuhan, yang mana mereka itu tidak memiliki manpaat dan darar (mudharat) bagi diri mereka sendiri (sehingga bagaimana hal itu bisa sampai padamu?!) Katakanlah apakah sama orang buta dengan orang melihat? Ataukah sama kegelapan dan cahaya? Apakah mereka menjadikan untuk Allah sekutu-sekutu dikarenakan mereka (sekutu-sekutu tersebut) seperti Tuhan mempunyai suatu ciptaan, dan ciptaan ini serupa mereka?! Katakanlah Allah pencipta segala sesuatu dan Dia adalah Esa serta maha menang" (Q.S : Ar-Ra'd:16).

Dan mari kita simak ayat lain yang serupa tentang hal ini dalam kisah nabi Ibrahim As: " Berkata mereka siapa yang melakukan ini pada tuhan-tuhan kami? Sesungguhnya dia niscaya orang-orang zalim. Kami dengar seorang pemuda yang dia menyebut tentang berhala-berhala, disebut padanya (namanya) Ibrahim. Berkata mereka datangkanlah dia disaksikan masyarakat, sehingga mereka menyaksikan. Berkata mereka apakah engkau yang melakukan ini pada tuhan-tuhan kami wahai Ibrahim? Berkata(nabi Ibrahim a.s) yang melakukannya adalah yang paling besar diantara mereka ini, maka bertanyalah kamu pada mereka jika mereka berbicara? Maka merujuk mereka dalam diri mereka, maka berkata mereka sesungguhnya kamu orang-orang zalim. Kemudian mereka berbalik atas kepala-kepala mereka (menarik kembali pendapatnya, dan melupakan secara keseluruhan kata hatinya ) pada hakikatnya kamu tahu bahwa mereka ini tidak berbicara. Berkata (Ibrahim a.s) apakah kamu menyembah selain Allah yang tidak memberi manpaat pada kamu sedikitpun dan juga tidak memberi mudharat pada kamu? Uffi atas kamu, dan mengapa kamu menyembah selain Allah, apakah kamu tidak berakal? (Q.S: Al- Anbiyaa:59-67).

Yakni apa yang diperbuat manusia dalam masalah ini tidak lain karena akal dan logika sehat mereka tidak bekerja dan berfungsi, sehingga mengambil sekutu untuk Tuhan yang mana sekutu tersebut sendiri tidak mampu memberikan manpaat pada diri mereka sendiri dan juga tidak mampu membuat mudharat pada diri mereka sendiri, apatah lagi pada manusia dan makhluk-makhluk Tuhan lainnya.

Dan salah satu diantaranya lagi cara Al-Qur'an untuk membangunkan akal manusia supaya befungsi dan berpikir logis serta berargumen untuk menundukkan pihak lawan adalah menukar dalil sebelumnya dengan dalil lainnya sesuai starata pihak yang dihadapi, dan cara ini dapat kita saksikan contohnya dalam ayat: "Apakah tidak kamu lihat kepada orang yang berhujjah (Namrud) dengan nabi Ibrahim tentang Tuhannya? Sebab Tuhan telah memberikan padanya mulk (kekuasaan) (dan karenanya dia menjadi congkak dan takabbur), ketika berkata Ibrahim as Tuhanku adalah yang menghidupkan dan mematikan, berkata (Namrud) aku menghidupkan dan mematikan ( dan untuk membuktikan ucapannya dia memerintahkan pada pengawalnya untuk mengeluarkan dua orang narapidananya, satu diantaranya dia bebaskan dan biarkan hidup dan satu lagi dia tidak biarkan hidup dan dibunuhnya), Nabi Ibrahim as berkata sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari ufuk Timur (dan jika benar apa yang kamu katakana bahwa kamu adalah hakim alam eksistensi dan Tuhan), maka terbitkanlah kamu matahari itu dari ufuk Barat, (dalam keadaan ini) Namrud yang kafir tersebut tinggal dalam keadaan terperanjat, dan Allah tidak memberi petunjuk pada kaum yang dzalim" (Q.S:Al-Baqarah:258).

Tapi meskipun ayat-ayat Al-Qur'an telah memberikan hidayahnya dan petunjuknya pada akal manusia, namun jika manusianya itu sendiri tidak mau menuruti dan mengikuti pikiran dan renungan akalnya, dia selamanya akan tetap dalam kegelapan dan kedzaliman, sebab manusia sendiri yang mempunyai kemampuan untuk merubah nasibnya dengan ikhtiyar dan pilihannya. Masih banyak masalahmasalah dimana ayat Al-Qur'an mencahayai akal manusia supaya manusia mau mengikuti akal dan rasio sehatnya yang dapat membawanya pada kebenaran hakiki dan kesempurnaan akhir. Namun tentu pembahasan ini tidak akan sedemikian luasnya, sebab pembahasan kita ini terbatas dan bukan proporsi bahasan seluas masalah-masalah tersebut. Dan diakhir pembahasan ini kami membawakan beberapa hadits ma'sumin berkenan tentang akal dan kebaikannya. Seseorang bertanya pada Abu Abdillah a.s, dia berkata:" Aku berkata padanya (Abu Abdillah a.s) apakah akal itu"? Beliau menjawab: "Apa yang dengannya Rahman (Tuhan maha Rahman) disembah dan apa yang dengannya jinan (jamaknya surga) diusahakan" (Al-Kâfi, 1\11)

Dan juga hadits dari Nabi saww. beliau bersabda: "Tegaknya seseorang adalah akalnya, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal" (Bihâr al-Anwâr, juz 1\94).

Barkata imam Shadiq as: "Barang siapa yang berakal maka baginya agama, dan barang siapa punya agama maka masuk surga" (Bihâr al-Anwâr, 1\91).

Dari cahaya sabda dan perkataan ma'sumin a.s tersebut di atas, maka dapat kita pahami bahwa dasar dan landasan untuk menerima agama dan parameter kebenaran suatu keyakinan dan akidah agama, tidak lain adalah akal yang merupakan anugerah termulia Tuhan pada manusia.

Di kutip dari http://telagahikmah.org/id

PESAN RAHBAR

“KAUM KHAWAS JANGAN SALAH MELANGKAH”
Saudara‑saudaraku !

Jika kita melihat keadaan masyarakat manusia, apakah itu masyarakat kota, negara, atau apa saja, maka ada dua tipe masyarakat yang dapat kita lihat. Pertama, masya­rakat yang melakukan sesuatu dengan penuh kesadaran, bertanggung‑jawab, dan memahami apa yang dilakukannya. Masyarakat ini kita sebut sebagai kalangan khawas (khusus), berkeahlian, atau para pemuka. Kedua, yang melakukan sesuatu tanpa perhitungan, tanpa memeriksa terlebih dahulu apakah jalan yang dipilihnya benar atau salah, dan tanpa berpikir mengapa harus demikian dan apa yang harus dilakukan. Tipe kedua ini disebut dengan kalangan awam.
Akan tetapi, kekhususan atau keawaman seseorang tak da­pat diukur dari kelas mana dia berasal; tak dapat diukur dari pakaian yang dikenakannya; dan tak dapat diukur dari jenjang pendidikan yang diraihnya. Khusus dan awam ti­dak mewakili sebuah kelompok tertentu dalam masyarakat. Dengan demikian, bolehjadi seseorang tak terdidik secara formal, tak pernah menamatkan sekolah tertentu, dan tak memi­liki ijazah, tetapi karena dia melakukan sesuatu dengan pertim­bangan‑pertimbangan matang dan penuh ke­sadaran, maka yang demikian ini bukan kalangan awam, melain­kan khusus. Demikian pula sebaliknya, bolehjadi seseo­rang ahli dalam satu bidang ilmu tertentu, tetapi karena tindakan‑tin­dakannya tak didasarkan atas ke­sadaran dan hanya ikut‑ikutan, dia tak tergolong kalangan khusus, dia awam.
Kalangan khusus dan awam ini ada di setiap masyarakat. Di masa Imam Husain as pun demi­kian. Mereka yang sebelumnya membaiat Imam Husain melalui Muslim ibn Aqil di kota Kufah, kemudian mengkhianati sendiri baiatnya karena takut akan ancaman Ibn Ziyad atau mengikuti begitu saja pemimpin mereka. Kelompok ini adalah kalangan awam, kalang­an yang tak memiliki sikap. Mereka menentukan sebuah pilihan bukan atas dasar kesadaran, tetapi ikut‑ikutan saja. Jika kebetulan mereka mengikuti pemimpin yang saleh, seperti Imam Ali bin Abi Thalib atau Almarhum Imam Khomeini, mereka akan dibawa menuju kebenaran; ke surga. Namun bahayanya, jika pemimpin mereka adalah orang‑orang bejat, yaitu orang‑orang yang disebut dalam al‑Quran sebagai pemimpin‑pemimpin yang membawa ke nera­ka, maka mereka pun akan terbawa menuju kesesatan; ke neraka. Karena itu, kita tidak boleh sampai termasuk ke dalam kalangan awam ini.
Sekali lagi, maksudnya bukan agar kita semua menempuh pendidikan tinggi dan menjadi kaya. Sama sekali tidak. Awam dan tak awamnya kita diukur dari apakah langkah yang kita tempuh berdasarkan kesadaran atau tidak. Atau, dalam istilah al-­Quran, ‘alâ bashirah atau tidak. Orang‑orang Islam adalah orang‑orang yang melakukan segala sesuatunya atas dasar bashirah, sebagaimana firman Allah: Katakan ini adalah jalanku. Aku menyeru kepada Allah atas dasar bashirah. Demikian pula orang‑orang yang mengikutiku. (QS 12: 108)
Masing‑masing kita harus mengaca diri; apakah tergolong awam atau tidak. Jika ternyata tergolong awam, maka sege­ralah keluar dari barisan ini. Berupayalah agar dapat ber­pikir secara cermat. Pertajam kematangan berpikir dan bergeraklah dengan landasan yang jelas.
Namun harus diingat, kalangan khusus ini pun ada dua macam. Ada kalangan khusus yang berada di jalur kebenaran dan adapula yang berada di jalur kesesatan. Kalangan khusus yang berada dalam kebenaran adalah kalangan khusus yang mengikuti petunjuk kebe­naran, berpihak dan berjuang untuk kebenaran. Sedangkan kalangan khusus yang berada dalam kesesatan adalah orang‑orang yang tahu kebenaran, tetapi tidak mengikutinya. Tahu bahwa kebenaran bersama fulan, tetapi malah memusuhinya. Yang demikian ini juga termasuk kalangan khusus, tetapi kalangan khusus yang sesat.
Pada masa awal Islam juga demikian. Ada kalangan khusus yang berpihak pada kebenaran dan adapula yang berpi­hak pada kebatilan. Kalangan khusus yang berpihak pada kebenaran misalnya adalah kalangan khusus yang berpihak pada Imam Ali atau Imam Husain as, sedangkan yang berpihak kepada Muawiyah adalah kalangan khusus yang sesat. Mereka tahu Muawiyah sesat, tetapi tetap berpihak padanya.
Dengan demikian, dalam setiap komunitas masyarakat ada dua kalangan khusus; yang berpihak pada kebenaran dan yang berpihak pada kesesatan. Lalu, apa yang dapat kita harapkan dari kalangan khusus yang berpihak pada kesesatan? Mereka akan semakin membuat ke­rusakan. Karena itu, kita harus melawan mereka.
Kaum khusus harus memperhatikan diri mereka, apakah mereka tergolong kalangan khusus yang mengikuti kebe­naran, atau malah yang berpihak pada kesesatan. Kaum khusus yang ada di antara kita, al‑hamdulillâh, adalah kalangan khusus yang berpihak pada kebenaran. Mereka mengajak kita semua meng­ikuti jalan Allah, jalan al-­Quran, jalan Rasul, jalan Keluarga Rasul, dan jalan Islam. Tetapi perlu diingat bahwa kaum khusus yang berada di pihak kebenaran pun mesti kita bagi dua. Ada yang kuat menghadapi se­gala godaan duniawi; ke­dudukan, harta, jiwa, popularitas, syahwat, dan sebagainya. Namun ada pula yang tidak kuat menghadapi godaan duniawi tersebut sehingga terbawa arus dunia.
Kita tidak memusuhi dunia, tapi kita tak boleh hanyut oleh pusaran dunia. Nah, jika kalangan khusus yang kuat menghadapi godaan duni­awi ini lebih besar jumlah­nya daripada kalangan khusus yang kalah oleh dunia, maka ma­syarakat Islam akan jaya selamanya. Namun, jika jumlah kalangan khusus yang kalah oleh dunia lebih banyak, maka, apa yang terjadi pada Imam Husain as, akan terjadi pula pada kita. Muawiyah‑Muawi­yah dan Yazid‑Yazid lain akan berkuasa di antara kita. Ima­mah akan berubah menjadi kerajaan, seperti yang dilakukan Bani Umayah dan Abbasiyah, yang mengubah masyarakat islami yang bersifat imamah menjadi kerajaan dan memimpin mereka dengan tangan besi.
Benar, masyarakat Islam adalah masyarakat imamah, yakni masyarakat yang dipimpin oleh seorang imam yang kuat dan dicintai rakyatnya dengan sepenuh hati, bukan masyarakat kerajaan, yang dipimpin oleh seorang yang tak disenangi rakyat dan memimpin dengan tangan besi. Namun, jika kaum kalangan khusus pemihak kebenaran lebih mencintai dunia, lebih takut kehilangan nyawa, lebih sayang kehilangan nama atau harta, maka yang akan menjadi korban pertama adalah Imam Husain, dan kemudian akan muncul Yazid‑Yazid lain sebagaimana yang telah kita saksikan di sepanjang sejarah dan dapat kita lihat sendiri dewasa ini pada banyak negara.
Kapankah hal itu mulai terjadi dalam Islam? Dapat kita katakan bahwa hal itu terjadi sekitar enam‑tujuh tahun sete­lah wafatnya Rasululullah saw, yakni ketika muncul gagasan untuk membedakan sahabat‑sahabat Rasul yang telah berjasa dalam penyebaran Islam dengan masyarakat biasa. Sejarah mencatat bahwa sejak saat itu mulai muncul perbedaan kelas dalam masyarakat Islam, dimana para sahabat menajdi kelas elit yang beroleh hak‑hak istimewa yang tak dapat diraih oleh masyarakat biasa. Mereka, misalnya, mendapat hak‑hak khusus dari baitul­mal, sementara masyarakat lain tidak. Perbedaan kelas ini semakin mencolok di masa khilafah Usman bin Affan. Sahabat‑sahabat seperti Thalhah, Zubair, Saad bin Abi Waqqash, yang sesungguhnya telah meno­rehkan tinta emas dalam sejarah peperangan ber­sama Rasul saww, malah berubah menjadi konglomer­at‑konglomerat. Keadaan ini merusak jiwa kalangan khusus itu, yang berakibat pada rusaknya moral masyarakat umum. Ketika Imam Ali bin Abi Thalib berkuasa, tak mudah bagi beliau untuk mengubah masyarakat yang sudah rusak sedemikian rupa. Di samping itu, Imam juga harus berhadapan dengan sekelompok orang yang haus kekuasaan, sehingga Imam terpaksa harus berperang dengan mereka. Malah, sepanjang kekuasaan beliau yang empat tahun sembilan bulan itu harus dihabiskan untuk memerangi kelompok‑kelompok itu. Imam akhirnya syahid di tangan manusia bejat, Ibn Muljam.
Imam Ali bin Abi Thalib syahid karena nilai‑nilai agung yang diperjuangkannya. Demikian pula Imam Husain as. Kedua darah yang tertumpah itu adalah darah‑darah mulia, darah‑darah Allah Swt. Pemilik darah‑darah itu adalah Allah, karena mereka berjuang demi kebesaran Allah.
Setelah Imam Ali mangkat, yang berkuasa adalah Imam Hasan. Tapi Imam Hasan tak dapat bertahan lebih dari enam bulan. Masyarakat yang dihadapinya adalah masyara­kat yang moralnya begitu hina sehingga sekalipun beliau harus mengorbankan nyawanya, mereka takkan berpihak pada beliau dan akan menyalahkannya. Mereka mem­biarkan Imam Hasan berjuang sendirian. Bagi mereka, harta, Muawiyah, dan janji‑janji Muawiyah jauh lebih penting ketimbang Imam Hasan. Imam Hasan melihat bahwa mati dalam peperangan bukanlah jalan yang tepat bagi beliau. Beliau melihat bahwa perjuangan ada di medan lain. Karena itu, Imam Hasan akhirnya meninggalkan medan peperangan.
Adakalanya memang, mati lebih ringan ketimbang menanggung beban hidup. Para urafa', ahli‑hikmah, tahu betul betapa kadangkala mati jauh lebih ringan daripada menjalani kehidupan. Hidup malah bisa terasa begitu berat. Namun justru dalam kehidupan yang berat itulah terkandung makna perjuangan. Maka, jalan ini pulalah yang dipilih Imam Hasan as. Beliau memiliki dua pilihan, mati syahid atau tetap hidup. Namun, jika beliau mati syahid, maka hal itu tak banyak memberi arti. Hidup malah lebih bermanfaat, dan lebih banyak yang dapat beliau lakukan bila beliau tetap hidup. Maka, ketika dihadapkan pada pilihan ini, Imam Hasan lebih memilih hidup karena di situlah perjuan­gan beliau. Ini berbeda dengan Imam Husain. Ketika Yazid berkuasa, tak ada pilihan lagi bagi Imam Husain kecuali bang­kit dan mati syahid. Beliau tidak memiliki dua pilihan sebagai­mana Imam Hasan. Imam Husain hanya memiliki satu pilihan, yaitu mencapai syahadah. Jika tidak, maka hidup beliau takkan berarti. Maka, Imam Husain memilih bangkit me­lawan Yazid dan mati sebagai syahid. Namun, di manakah kalangan khusus pemihak kebenaran di masa Imam Husain?
Memang, orang‑orang ter­tentu pada masa Imam Husain adalah kalangan khusus pemihak kebenaran, karena mereka tidak berpihak pa­da Yazid. Mereka berpihak pada Imam Husain. Mereka mengakui bahwa Imam Husain-lah yang benar. Tetapi, ketika mereka dihadapkan pada pilihan mati atau hidup; pilihan antara kehilangan dunia atau akhirat, kehilang­an harta, nama, dan seba­gainya atau akhirat, mereka lebih memilih dunia, yaitu meninggalkan Imam Husain. Padahal, tidak ada kekurangan sedikit pun pada Imam Husain. Imam Husain adalah manusia terbesar di zamannya. Semua menghor­mati Imam Husain. Jika bertemu dengan Imam Husain, mereka mengatakan, “Saya adalah tebusan bagi Anda.” Akan tetapi, karena takut mati dan lebih cinta pada dunia, kalangan khusus ini lebih memilih mengorbankan Islam ketimbang diri mereka sendiri.
Warga Kufah yang menulis surat kepada Imam Husain (agar beliau datang ke Kufah) bukan orang sembarangan. Mereka adalah para pembesar. Tetapi, ketika pedang Yazid telah mengancam, mereka lebih memilih untuk meninggalkan Muslim bin Aqil, utusan Imam Husain, padahal mereka telah membaiatnya. Ungkapan Abdullah bin Muti’ yang datang kepada Imam Husain di kota Mekah menyiratkan makna ini dengan baik. Dia berkata kepada Imam Husain, “Wahai putra Rasulullah, jika engkau terbunuh, mereka justru akan menjadikan kami budak‑budak mereka.” Ya, kalangan khusus pada masa Imam tahu per­sis siapa beliau. Tetapi, karena lebih cinta pada dunia. Akhirnya, terjadilah apa yang terjadi, sementara rakyat awam hanya mengikuti mereka saja.
Dengan demikian, posisi kalangan khusus sangat penting. Mereka dapat berguna bagi masyarakat, tetapi pada saat yang sama mereka dapat pula menjadi bencana bagi ma­syarakat. Sebab, jika mere­ka salah langkah, maka se­luruh masyarakat akan menjadi rusak. Ini sebuah pelajaran yang sangat berharga bagi kita. Betapa tindakan kalangan khusus sangat berpenga­ruh bagi masyarakat. Jika mereka kuat, maka awam pun kuat. Tapi jika kalangan khusus ini lemah, maka awam pun ikut menjadi lemah. Apa yang menimpa Muslim bin Aqil, utusan Imam Husain di Kufah, menjelaskan hal ini dengan baik. Pertama‑tama Muslim bin Aqil dibaiat oleh tak kurang dari 18.000 warga Ku­fah yang menyatakan ke­setiaannya pada Muslim. Namun karena kalangan khusus Ku­fah ini mundur, takut pada pedang Ibn Ziyad, awam Kufah pun akhirnya mundur dan mengikuti langkah mereka. Salah seorang di antara mereka adalah Qadhi Syuraih. Jika Qadhi Syuraih berani mengatakan yang haq mengenai Hani bin Urwah, yang tetap setia kepada Muslim bin Aqil, maka mungkin keadaan tak seburuk itu. Mungkin sejarah akan lain. Mungkin Imam Husain tak terbunuh di Karbala. Jika Imam Husain berkuasa enam bulan saja, misalnya, mungkin banyak hal yang dapat beliau lakukan.
Benar, adakalanya satu langkah yang tepat dapat menyelamatkan sejarah secara keseluruhan. Tapi seba­liknya, langkah yang salah, yang lahir dari ketakutan, kelemahan, cinta dunia, takut mati, dan sebagainya dapat mem­buat sejarah menjadi kelam. Andaisaja Qadhi Syuraih berani memberikan kesaksian tentang Hani bin Urwah; andaisaja tokoh‑tokoh Kufah seperti Syubuts bin Rub’iy, orang yang menulis surat kepada Imam Husain dan mengundangnya ke Kufah, tidak mematuhi Ubaidillah lbn Ziyad sehingga memaksanya membubarkan kaumnya, maka tentu sejarah menjadi lain.
Di sinilah letak kesalahan kalangan khusus itu. Di saat­-saat genting seperti itu, seharusnya mereka lebih memilih Tuhan ketimbang dunia; berpikir jernih dan mengikuti hati yang bersih, bukan hawa nafsu. Andai begitu, maka Karbala takkan terjadi. Saat‑saat yang genting adalah saat‑saat yang amat menentukan. Jika langkah yang diambil salah, meskipun sedikit, maka akibatnya akan fatal. Penyesalan tak lagi berguna. Lihatlah nasib (negara) Aljazair. Betapapun kelompok Islam yang menang, tapi karena salah mengambil langkah, maka pihak lainlah yang berkuasa. Andai pada saat‑saat genting waktu itu, sebe­lum diambil alih rezim militer, mereka dapat mengambil tin­dakan yang tepat, ke­adaan tentu tak seperti sekarang ini. Tapi ka­rena ragu‑ragu, takut, dan sebagainya, maka terjadi­lah apa yang terjadi.
Sekiranya pada tanggal 10 Fe­bruari 1979, sehari sebelum kemenangan Revolusi Islam, Imam Khomeini tidak mengambil langkah yang tepat, dengan memer­intahkan rakyat agar tidak mematuhi keadaan darurat dan terus turun ke jalan, maka bolehjadi sampai saat ini Syah akan tetap berkuasa dan pembunuhan demi pembunuhan akan terus dilakukannya.
Karena itu, pengambilan keputusan pada saat yang genting oleh kalangan khusus merupakan sesuatu yang sangat pen­ting. Jika keputusan diambil dengan tepat, mereka dapat menyelamatkan sejarah dari kehancuran. Namun, jika salah dalam mengambil keputusan, maka Karbala demi Karbala akan terus berulang.
Allah telah berjanji bahwa orang yang membela­-Nya akan dibela‑Nya. Orang yang berjuang untuk‑Nya pasti akan meraih kemenangan: Allah pasti memberikan kemenangan kepada orang yang membela‑Nya.(QS 47: 7) Namun, ini bukan berarti bahwa perjuangan akan berlangsung tanpa adanya kemat­ian atau tanpa kesulitan. Kesulitan‑kesulitan tentu akan dialami: Mereka membunuh lalu dibunuh.(QS 9: 111) Namun, di balik kesulitan‑kesulitan itu ada kemenangan. Inilah sunnatullah. Tetapi, jika kita takut mati, takut kehilang­an kedudukan, takut kehilangan harta, takut kehilangan pekerjaan, takut kehilangan rumah; lebih memilih keluarga, lebih memilih teman, dan lebih memilih kehidupan santai, maka sekalipun yang datang adalah 10 orang Imam Husain, tetap saja Imam Husain akan menjadi korban. Karena itu, kalangan khusus harus lebih waspada dan jangan sampai mengambil lang­kah keliru, yang dapat merugikan semua pihak. Semoga Allah memberikan taufik dan hidayah‑Nya kepada kita semua.


(Dikutip dari Majalah “WARIS”, no. 11, tahun III, Muharram-Rabiul Awwal 1418 H)